Di
suatu hari saat baru saja ku langkahkan kaki menuruni angkutan umum, tiba-tiba
tanpa kusadari sebuah sepeda motor menghantamku dengan seketika. Aku tak ingat
lagi apa yang terjadi kemudian, ketika ku membuka mata yang aku lihat di
sekelilingku adalah dinding bercat putih bersih dan aroma obat yang cukup
menusuk.
“Arini…syukurlah kamu sadar.” ucap
mamahku tiba-tiba
Aku yang masih bingung berujar
“Arini ada dimana Mah?”
“Kamu di rumah sakit, sudah dua hari
tidak sadarkan diri, mamah takut sekali.” Jawab mamah tidak dapat
menyembunyikan kekhawatirannya.
“Arini Ga
apa-apa Mah…” Aku mencoba menenangkan “Mah, Arini ingin ke toilet,”aku meminta
izin
“Sini mamah bantu”
Aku tersenyum “Ih…mamah, Arini khan
bukan anak kecil, Arini bisa sendiri” Aku mencoba bergerak utk turun dari
ranjang, namun tiba-tiba aku terkejut, aku tak bisa merasakan apapun pada kaki
ku. Mamah terdiam, wajahnya bertambah sedih
“Menurut rongten dokter, saraf
kakimu putus sehingga kamu akan lumpuh sayang” Mamah menangis memeluk ku yang
terdiam tak percaya
Beberapa hari kemudian, saat aku
sedang bergegas marapihkan barang-barangku karena dibolehkan untuk pulang dari
rumah sakit, seorang pria datang ke kamar rawatku. Tuhan…aku tak percaya dengan
penglihatanku saaat ini. Jika aku bermimpi ingin rasanya aku tak segera
terbangun. Laki-laki yang begitu sangat aku merindukannya, seorang laki-laki
dimana sepuluh tahun ku pendam rasa ini untuknya, kini berada di hadapanku.
“Bagaimana keadaan kamu?” tanyanya
Aku yang masih tak percaya dengan
ini hanya diam membisu
“Aku minta maaf, sunugguh sangat
menyesal…aku benar-benar tidak sengaja. Maafin aku Arini” Lanjutnya dia
menggenggam tanganku, tapi kenapa dia harus minta maaf, kesalahan apa yang
dilakukannya. Aku terus bertanya dalam hati
“Arini kamu layak membenci aku…aku
berjanji akan menebus kesalahanku ini. Aku akan membantu merawatmu sampai kamu
bisa berjalan lagi…aku benar-benar tidak sengaja saat itu, aku minta maaf.”
Sesalnya menundukan kepala menggenggam jemariku
“Tuhan…benarkah dia orang yang
sangat aku cintai ternyata yang telah membuatku lumpuh seperti saat ini??”
bisikku dalam hati, perlahan aku lepaskan genggaman tangannya
“Sudahlah Adit, Aku sudah
memaafkannya”
Adit tersenyum, sebuah senyum entah
sudah berapa lama hanya bisa kulihat dalam kenangan.
“Hari ini kamu sudah boleh pulang
khan? Kelihatannya cuaca cukup cerah. Sebelum pulang bagaimana jika kita
jalan-jalan dulu di taman rumah sakit ini?” tawarnya
Aku tersenyum mengangguk setuju
Adit mendorong kursi rodaku
berkeliling taman kecil di rumah sakit ini. Dalam benak ku bertarung, apakah
aku harus senang atau justru sedih???
“Lama ya..kita tidak bertemu…aku
dengar kamu sudah merampungkan kuliah?” Ucapnya membuyarkan lamunanku
“Alhamdulillah…oh, ya, kamu apa
kabar? dengar-dengar kamu berhasil masuk klub sepak bola nasional ya?” tanyaku
balik
Adit tersenyum “Iya kamu benar…..”
“Wuah…kamu berhasil meraih mimpimu
dong menjadi pemain sepak bola !!! Kamu juga tak kalah hebat” Puji ku
Adit tertawa “Oh, Tuhan…ingin
rasanya waktu terhenti saat ini melihat tawanya yang begitu lepas saat
bersamaku” harapku yang ku tahu tak akan mungkin terjadi.
Tak pernah kubayangkan sebelumnya
akan berbincang lama seperti ini, setelah sekian lama tak ada perjumpaan, tak
ada sapa di antara kami. Masih terekam jelas dalam ingatan walau aku sendiri
tak tahu pasti benarkah itu jawabannya.
Aku, Arini Pramuswari selalu
tersudut sendiri. Tak ada teman, tak ada tawa. Sifatku yang terlalu pendiam
menbuatku sulit untuk beradaptasi dengan teman lain, bahkan guru-guru pun
meragukan kemampuan akademik ku. Namun, saat pertengahan semester Adit kecil yang
berseragam putih-merah datang memberikan setitik warna dalam hidupku yang
kelabu. Ia duduk di sampingku dan ia berhasil membuat aku tersenyum dengan
candanya. Secara perlahan aku bisa beradaptasi, Ia pun selalu mengikut sertakan
aku saat berbincang dengan teman lainnya sehingga aku merasa tidak terabaikan,
begitu pula dalam akademik, kemampuanku pun semakin terlihat hingga akhirnya
aku bisa menduduki peringkat lima
besar saat itu.
Namun menjelang semester akhir, Adit
pergi dari sampingku. Ia pindah sekolah karena suatu hal, dan saat itulah aku
merasakan kehilangan tanpa dia di sampingku. Aku mulai menyadari bahwa aku
mulai menyukainya, Tuhan ini terlalu dini. Ku berusaha untuk menepis rasa ini
namun yang ada perasaan ini semakin berkembang padanya.
Meskipun kami tidak lagi satu
sekolah, hubungan komunikasi kami masih berjalan baik, hingga pada suatu hari
entah darimana ia tahu perihal perasaanku padanya dan kemudian ia mulai
menghindariku. Rasanya memang menyakitkan, akupun berusaha utk melupakannya
tapi aku tetap tak mampu hingga kini sepuluh tahun perasaan itu masih
bersemayam di hatiku.
“Arini…mamahmu sudah datang.
Sepertinya taksi yang akan mengantarmu juga sudah ada” ucapan Adit kembali
membuyarkan lamunanku
“Iya…Ayo
ke sana,”
jawabku
Adit mendorong kursi rodaku hingga
di depan taksi dan mamah sudah menunggu di sana.
“Arini bolehkan setiap pulang kuliah
dan jika tidak ada latihan aku menemani kamu?” tanyanya
Aku menggangguk senang “Tentu saja
!”
Waktu kian bergulir, bulan pun
berganti bilangan . Adit sungguh menepati janjinya, hampir setiap hari ia datang
menemani. Setiap pulang kuliah atau jika tidak ada latihan. Kedekatan itu
semakin jelas, haruskah aku utarakan sekarang tentang perasaanku yang terpendam
selama sepuluh tahun ini. Ya, sepuluh tahun sebuah angka dimana merupakan
sepuluh kali lipat dari angka satu, dua kali lipat dari angka lima dan tentunya harus melewati angka
Sembilan. Bukan waktu yang sebentar khan?. Tapi aku semakin tidak percaya diri
dengan keadaanku seperti saat ini. Apa dia mau berkasihkan seseorang yang bahkan untuk berjalan pun tak mampu ?
Di suatu senja, Adit mengajak
berkeliling taman tak jauh dari komplek perumahan. Saat kami sedang asyik
bercengkerama tiba-tiba ponsel Adit berdering, dengan sigap ia menjawab
panggilan itu dengan menjauhi aku terlebih dahulu.
Namun, alangkah terkejutnya aku saat
tanpa sengaja ku dengar perbincangannya di ponsel.
“Iya…sayang !! tidak ada apa-apa
antara aku dan arini, aku cuma kasihan sama dia. Aku hanya ingin menebus
kesalahanku padanya. Nanti jika dia sembuh dan dapat berjalan, aku tidak akan
menemuinya lagi.”
Bak disambar halilintar, dengan
mudahnya dia semaikan kembali benih-benih perasaanku padanya namun pada
akhirnya dengan mudah ia patahkan kembali. Dengan air mata yang tak berhenti
mengalir aku mencoba berlari meski terasa sulit dengan tongkat penyanggah. Yang
terbesit dalam otakku adalah segera menjauhinya.
Sejak saat itu tak ingin lagi aku menemuinya. Kadang aku
bersyukur atas anugrah cinta yang di titipkan Sang Ilahi di hatiku, namun di
lain sisi akupun membenci perasaanku yang terpaut pada orang yang salah, orang
yang bahkan tak pernah melihatku. Dia itu seperti bintang, yang hanya bisa ku
tatap tanpa bisa aku raih. Aku telah keliru mengharapkan bintang seperti dia,
cahayanya terlalu menyilaukan pandangan. Aku sadar bahwa aku tak akan pernah
memilikinya.
Beberapa bulan dari saat itu,
setelah aku tak pernah lagi merespon setiap sapaannya baik melalu panggilan
telepon atau pesan singkat. Di suatu siang, tiba-tiba saja tubuhku menggigil
hebat, di sertai demam tinggi, terkadang dadaku terasa sesak seperti sulit
untuk bernafas, gejala lainnya pun hanya seperti influenza biasa hanya bedanya
ketika terbatuk sering kali mengeluarkan darah. Wajahpun semakin memucat. Mamah
yang mulai khawatir dengan kondisiku mengajak untuk berobat, dan harus ku
dengar lagi sebuah keterangan yang mengejutkan. Menurut diagnosa dokter bahwa
aku terserang pneumonia atau infeksi
paru, dan sayangnya yang kuderita saat ini sudah cukup akut. Kemungkinan untuk
sembuh pun hanya 25%, ingin rasanya aku menangis tapi mungkin air mata ini
sudah mengering. Dalam setiap waktu, hanya mamah yang mampu membuat ku kuat manghadapi segala cobaan ini.
Satu minggu sudah, akhirnya aku bisa
kembali ke rumah semenjak di opname setelah pemerikasaan saat itu. Aku
bersikeras ingin pulang, walaupun dokter belum mengizinkan, hingga akhirnya
dokter menyerah karena sikap keras kepalaku. Ia mengizikan aku pulang dengan
syarat aku harus mengikuti anjuran darinya untuk menjaga kestabilan tubuhku.
Setiap malam dari balik jendela
kamarku, aku sangat suka menatap bintang berkerlipan di langit kelam.
“Tuhan…aku tak pernah tahu kapan
malaikat-MU akan menjemputku, aku ingin sebelum saat itu tiba izinkan aku untuk
bersama bintangku, yakinkan hatinya untuk bisa mencintaiku walau hanya dalam
hitungan jam..!” harapku, tetap tak lepas pandangan dari bintang di angkasa sana.
Esoknya aku memutuskan untuk
menghubungi Adit dan bertemu dengannya. Aku bersyukur ia masih bersedia untuk
menemui aku di taman,tempat dimana kami dalam beberapa hari lalu pernah
menghabiskan waktu bersama.
“Adit…aku ingin bicara sesuatu sama
kamu, tolong dengarkan baik-baik !” pintaku
Adit mulai serius, ia memandang
dalam ke mataku
“Adit, sejak sepuluh tahun lalu aku
sudah mencintaimu…awalnya aku berfikir itu hanya perasaan suka biasa. Cinta
monyet masa anak-anak ! Tapi, jujur aku sendiri tak memahami..sejak saat itu
aku tak bisa menghapus kamu dari pikiran dan hatiku ! terasa sulit bagiku untuk
membuka hati pada yang lain.” Ungkapku gamblang, Adit hanya terdiam. Nampak
jelas ia cukup terkejut dengan pernyataanku hingga membuatnya tak mampu
berkata-kata.
“Aku tidak berharap banyak untuk
menjadi kekasihmu…aku hanya ingin kamu tahu bahwa ada seseorang yang merasa
kamu sangat berarti ! Kelak, jika aku harus pergi dan tak akan pernah kembali
setidaknya aku bahagia bahwa aku sudah mengungkap isi hatiku dan kamu harus
berjanji, untuk bahagia bersama orang yang kamu cintai.” Lanjutku berusaha
untuk tetap tersenyum di hadapannya.
“Arini kenapa bicara seperti itu ?
Memangnya kamu mau pergi kemana ?? Arini aku…” aku segera memotong
“Sudahlah…kelak suatu hari kamu akan
mengetahuinya.” Itulah kalimat terakhir yang aku katakana padanyasebelum
berlalu dari hadapannya.
Malam ini aku kembali menatap
bintang, dalam hati ku berkata “Tuhan..masih bisakah esok akau menatap
matahari, masih sanggupkah aku melihat bintang dan bulan yang menemani malamku
seperti saat ini. Jika memang telah habis waktuku, aku titip mereka yang ku
sayang, bahagiakanlah mereka untuk ku…” Aku menutup jendela kamarku, berusaha
untuk memejamkan mata, terkadang aku merasa takut sekali untuk tertidur, karena
sang waktu bisa kapan saja membuat aku tak lagi terbagun dari tidur panjangku.
* TAMAT *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar