Meskipun desa ini masih terlihat
asri, bukan berarti tak mengalami kemajuan. Beberapa pabrik sudah berdiri di
sudut jalan sana, jalanan yang dulu rusak pun kini sudah mulus beraspal. Kendaraan
bermotor pun mulai menyemaraki jalan,meskipun tak sepadat di kota-kota besar.
Masih banyak orang yang berjalan kaki untuk ke ladang dan sawahnya.
Di Sebuah aliran sungai, aku bermain
sebentar membasuh muka. Sejuk rasanya. Namun, tiba-tiba aku tertarik dengan
aktifitas seorang ibu dan anak yang terlihat sangat akrab, ibu muda itu begitu
penuh kasih membasuh dan mengajak bermain putranya dan kalau menurut perkiraanku
anak se usia itu seharusnya menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya. Ku
perhatikan dengan seksama, sepertinya aku pernah mengenal wajah lembut itu. Oh,
Tuhan..aku benar-benar mengenalnya, dialah sahabatku Puspa.
“Puspa…” Panggilku
Dari wajahnya terlihat ia
kebingungan seperti mengingat-ingat sesuatu. Aku segera mendekatinya,
memeluknya melepas kerinduan yang telah lama tidak berjumpa.
Dengan ragu puspa memanggil namaku
“Kartika”
“Iya..aku Kartika” Jawabku senang
Ia memelukku kembali kali ini lebih
lama, Puspa menangis.
“Aku minta maaf tidak di sampingmu
di saat-saat tersulitmu, kamu harus melaluinya sendiri. Maafkan aku” Aku pun
tak mampu mebendung air mata bersalahku
Puspa melepaskan pelukannya
“Kamu tidak salah, aku mengerti
dengan kesibukanmu di kota sana”
Si anak laki-laki itu hanya menatap
kososng ke kami, ku sentuh wajahnya
“Ini pasti Akbar kan?? Garis
wajahnya mewarisimu”
“Iya..dia anakku, Akbar usianya
sudah 10 tahun. Oh,ya..kita lanjut cerita dirumahku saja.”
Puspa segera menggandeng Akbar dan
membawa bakul yang berisi pakaiannya yang telah di cuci.
“Biar aku bawakan pakaianmu” tawarku
“Nda usah…kamu sudah kerepotan
dengan ransel besarmu” Jawabnya dengan senyum manis
Puspa dan Akbar berjalan di depanku,
dalam hati ku berujar “Puspa..kamu begitu kuat. Ujian yang kamu terima begitu besar
namun dengan kebesaran hatimu kamu masih bisa tetap melaluinya dengan senyum.
Entah jika itu terjadi padaku,mampukah aku setegar dirimu”
Aku dan Puspa berbicang di ruang
tamu sekaligus kamar tidurnya, ruangan ini begitu kecil sehingga wajarlah jika
meja persegi dengan empat kursi ini di sekati gorden sebagai pemisah dengan
ruang tidurnya. Sedangkan Akbar terduduk di sudut tempat tidur dengan pandangan
kosong, ia bermain dengan bola plastiknya.
Siapapun bisa menilai bahwa Akbar
tumbuh tidak seperti anak-anak pada umumnya. Ia Autis dan ada semacam ganngguan
penyakit di saraf dan otaknya, skizofrenia
begitu keterangan mahasiswa kedokteran yang KKN di desa ini. Skizofrenia bisa berarti keterpeceahan
atau keterbelahan pikiran disebut demikian sebab si penderita hidup dalam dua
alam yaitu alam fantasi dan alam nyata. Masalahnya adalah si penderita tidak
selalu dapat membedakan kedua alam ini.
Aku menggenggam tangan Puspa “Ada
apa dengan kehidupan rumah tanggamu?? kenapa Sigit tidak di sampingmu??”
Puspa berusaha menyimpan dukanya
dalam senyuman “Kamu pasti sudah mendengar apa yang terjadi kan? Tapi baiklah
aku akan menceritakannya. Dua tahun menikah, aku belum memberikan Sigit dan
keluarganya keturunan, sampai kemudian ibu mertuaku memaksaku untuk mengizinkan
Sigit menikah lagi karena ia sudah sangat mendambakan seorang cucu. Meskipun
berat beberapa bulan setelah itu aku mengizinkannya untuk dimadu, tapi justru
Sigit menolaknya. Ia beralasan sangat mencintaiku dan masih banyak hal yang
bisa dilakukan untuk memperoleh keturunan. Tentu saja aku bahagia mendengar
pernyatan itu, waktu bergulir hingga menjelang pernikahan menginjak ke tahun ke
tiga, Tuhan menjawab doaku. Dalam rahimku hidup seorang janin yang sangat kami
nanti dan dambakan kehadirannya.Kami sangat bahagia saat itu, hingga..” Air
mata Puspa jatuh tak terbendung
Aku menggenggam tangannya menguatkan
“tidak usah dilanjutkan..”
Jeda kediaman terjadi diantara kami,
akupun tak tahu apa yang mesti aku lakukan selain memeluknya. Ketika sudah
mulain tenang Puspa melanjutkan ceritanya “Pada usia kandunganku menginjak
tujuh bulan ada kendala dalam janinku, dokter memberi pilihan yang cukup sulit
padaku. Aku harus menggugurkan janin itu atau ia akan terlahir tidak normal.
Aku masih percaya akan sebuah keajaiban, aku mempertahankan janin itu terlahir
ke dunia. Lalu kemudian dilakukanlah operasi Caessar untuk mengeluarkan bayiku. Dan Seperti inilah keadaan
Akbar, ia terlahir istimewa. Namun keluarga besar Sigit tidak dapat menerima
keadaan Akbar, mereka menyuruhku untuk menitipkan Akbar di panti asuhan saja.
Itu sangat tidak mungkin aku lakukan, bagaimana mungkin aku tega membuang darah
dagingku sendiri. Tapi dari semua yang kualami adalah dimana pengkhianatan
Sigit dalam pernikahan kami. Ternyata satu tahun setelah kami menikah, Sigit melakukan
hubungan terlarang dengan rekan kerjanya dan suatu hari seorang wanita datang
ke kediaman kami membawa balita perempuan, ia datang menuntut pertanggung
jawaban Sigit, anak perempuan yang dibawa nya telah menginjak usia dua tahun. Aku
melihat rona bahagia di mata ibunya Sigit, dengan seketika ia langsung
menggendong balita itu. Jujur itu cukup menykitkan untuk ku. Semenjak kelahiran
Akbar, ia bahkan tak pernah menggendongnya. Hingga akhirnya mereka mensahkan pernikahan
Sigit dan wanita itu, sedangkan terhadapku mereka memberi pilihan aku masih
bisa menjadi bagian dari keluarga itu jika bersedia mengasingkan Akbar
sejauh-jauhnya.”
Wajah Puspa sudah penuh air mata,
sebagai seorang wanita aku bisa merasakan kepedihannya. Kami saling berdiam
beberapa saat.
“lalu kemudian Sigit melayangkan
surat cerai itu, mereka mengusirku dari kehidupan mereka” Puspa menuntaskan
kisahnya
Tiba-tiba Akbar berteriak-teriak, ia
menjerit ketakutan sontak kami yang tak berada jauh darinya segera
menghampirinya.
Puspa segera memeluk putranya, ia
berusaha menenangkannya. Akbar masih tetap meronta ia berteriak berusaha
membenturkan kepalanya, Puspa menahan tubuhnya ia terus memeluknya
“Kartika tolong ambilkan obat
didalam lemari, dibaris ke-dua” pinta Puspa
Aku segera sigap mengambil obat yang
diminnta Puspa dan segera memberikannya bersama air putih. Puspa Berusaha
memasukan obat itu ke dalam mulut Akbar, setelah terpastikan tertelan beberapa
saat kemudian Akbar mulai sudah agak tenang.Tak lama setelahnya Akbar tertidur,
dalam lelapnya ia begitu polos tanpa dosa mungkin ia tak benar-benar memahami
apa yang tengah terjadi pada hidupnya. Puspa terdiam membelai rambut Akbar,
“Aku hampir putus asa manghadapi semua ini. Terkadang aku lelah, sejujurnya aku
juga ingin melihat putraku tumbuh normal, bersekolah, berlari,bermain
layang-layang bersama kawannya, membantu di ladang… tapi ia tumbuh berbeda aku
sudah melakukan dan berusaha semampuku untuk kesembuhannya.” Puspa meratap.
Baru kini kulihat sahabatku yang
dulunya begitu periang, berduka teramat dalam seperti ini. Aku mengira
kehadiran Sigit, laki-laki keturunan ningrat itu akan mampu membahagiakannya.
Namun, kenyataan yang kusaksikan kini ia dan keluarganya menelantarkan Puspa
dan Putranya yang memang terlahir istimewa.
“Puspa..Tuhan menitipkan Akbar
padamu karena DIA tahu kamu mampu membesarkannya dengan baik. Tuhan memilihmu
sebagai wanita dan orang tua pilihan. Aku yakin di dalam hatinya, Akbar pun
bangga memiliki ibu sepertimu” Aku coba
mensupportnya
Puspa menangis “iya..aku tahu, tapi
di hati kecil ini ingin rasanya kudengar panggilan ibu dari mulut Akbar. Selama
ini ia hanya mampu bergumam dan berteriak-teriak. Naluriku sebagai seorang ibu
merasakan sakit yang ia rasakan, kamu lihat luka ini. Karena kecerobohanku ia
hampir saja mengakhiri hidupnya karena rasa ketakutan yang tidak berkesudahan
itu.” Ungkap Puspa menunjukan sayatan panjang di pergelangan tangan Akbar
Aku miris, menelan ludah aku tak
tahu bagaiman cara membantu sahabatku ini. Tuhan, mengapa cobaan yang Engkau
beri pada Puspa begitu beratnya.
“Hmm..maafkan aku. Harusnya aku tak
seperti ini, sudah lama kupendam ini sendirian. Terima kasih Kartika kamu mau
mendengarkanku” Puspa menghapus air matanya
Aku
memeluknya, dalam hati aku berjanji aku akan membantumu sahabatku, semampuku.
“Puspa..sepertinya aku sudah harus
pulang. Ibu pasti mengkhawatirkanku karena anak gadisnya ini belum juga sampai
di rumah” Ucapku
“Oh..iya tentu saja..terima kasih
kamu mau datang dan mendengar keluhanku. Titip salam untuk ibumu” Ucap Puspa
Akupun berpamitan,
“Selama aku masih di sini aku akan
menemanimu” Aku berjanji
“Terima Kasih” ucap Puspa dengan
tersenyum
Setibanya aku tiba di kediaman orang
tuaku, aku pun disambut hangat oleh ibu yang sudah cemas menungguku di teras.
“Kamu kemana sich nduk…katanya sudah tiba dari pagi tapi
kenapa sesiang ini baru ke rumah” Cecar ibu dengan nada khawatir
“Tadi aku berkeliling dulu
bu..kangen sama desa ini, terus ketemu Puspa..lalu aku mampir ke tempatnya. Aku
kasihan bu dengannya” Jawabku
“Iya..malang benar nasinb anak itu.
Ya sudah kamu istirahat dulu sana” Perintah ibu
“Siaaappp Kanjeng Mami” aku bersikap
dengan tanda hormat mencandainya
“kamu ini…” Ibu mencubit dengan
kasihnya
Esok paginya, aku berlari pagi
berkeliling lalu seperti janjiku aku datang menemui puspa. Dari kejauhan sudah
kulihat ia duduk bersama Akbar. Aku mulai mendekati mereka. Puspa sedang
menceritakan sebuah kisah Abu Nawas dan terlihat dari gurat wajah putra
terkasihnya ia bahagia mendengar cerita sang ibu. Tuhan, Akbar pun tak bisa
bicara hanya gumaman yang keluar dari mulutnya namun senyuman dan tawa polosnya
memberikan kerekahan dan kebahagian tersendiri untuk puspa.
“Kartika…sejak kapan??aku tidak
menyadari kedatanganmu” Tanya Puspa
“Semenjak cerita Abunawas tadi…”
jawabku tersenyum “Hai..Akbar” sapaku
Akbar tersenyum malu-malu
“Darimana?? “ Tanya Puspa
“Hanya berkeliling menikmati suasana
pagi di kampung, embun pagi masih terasa kesejukannya” Aku duduk di samping
Akbar
Saat kami berbincang, tak jauh dari
tempat kami, Akbar asyik dengan aktifitasnya. Ia terlihat menggores-goreskan
pensil warna di atas sebuah buku gambarnya. Lalu ia menyerahkan lembaran itu Pada
Puspa. Puspa Menangis terharu ia segera memeluk putranya “Ibu juga sayang sama
Akbar” Ucapnya
Aku lihat lembaran gambar itu, tertera
sebuah gambar seorang ibu dan seorang anak laki-laki dibawahnya tertulis ‘AKBAR
SAYANG IBU’, sebuah ungkapan jujur yang terasa begitu istimewa“Akbar bisa
menulis dan menggambar??” tanyaku pada Puspa
“Aku selalu berusaha melatih
kemampuan motoriknya,, meskipun semua sekolah umum menolak ia belajar di
tempatnya aku percaya bahwa Akbar bisa, aku berusaha untuk mengajarinya dan
melatihnya” Jawab Puspa
“Kamu sungguh seorang ibu yang luar
biasa” Aku mengagumi kegigihannya “Aku punya kabar bahagia untukmu. Setelah aku
mencari-cari informasi, di ibu kota sana ada dokter yang bisa membantu Akbar,
Ia sudah sering menangani kasus anak yang dialami seperti Akbar dengan theraphy rutin dan pengobatan” Aku
menjelaskan
Puspa tersenyum, seperti ada sebuah
harapan di matanya, namun tiba-tiba mendung menggelayuti “Biayanya pasti sangat
mahal” Puspa khawatir
“Kamu tidak usah memikirkan hal itu,
kita bisa menanganinya bersama” aku memberikan solusi
Puspa menangis lagi dan memelukku
“Entah mengapa semenjak kehadiranmu aku jadi sering menangis. Tapi terima kasih
kamu memberikan setitik cahaya untukku. Kamu seperti malaikat penolongku” Isak
Puspa
“Kita telah bersahabat semenjak
lama, bagaimana mungkin aku berdiam diri menyaksikan sahabatku melewati
kesulitannya sendiri” Ku hapus air matanya
Puspa segera berlari ke Akbar, Ia
memeluknya “Nak..kamu akan sembuh,”
Secara tiba-tiba Akbar membalas
pelukan ibundanya, “A..k..b..a…r..s…a…y…a..ng..i…b..u…” dengan terbata dan kesulitan kalimat yang
dinanti itupun keluar juga dari mulut Akbar, kalimat yang telah bertahun-tahun
di nantikan Puspa.
Serta merta semkin terharu Puspa
dibuatnya, “Iya..ibu juga sayang sekali sama Akbar” tak hentinya ia menciumi
putranya
Dan aku tak mampu lagi membendung
rasa haru menyaksikan kasih sayang seorang ibu pada putranya yang istimewa. Air
mata ku pun menetes.
#
TAMAT #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar