Ditengah hiruk pikuk kota metropolitan Jakarta, masih tersembunyi bangunan-bangunan bersejarah. Salah satunya adalah tempat ibadah, berikut adalah beberapa Masjid bersejarah yang masih kokoh berdiri di tengah angkuhnya ibu kota. Beberapa diantaranya :
1. MASJID AL-AZHAR
Masjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952.
Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali
dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran
Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 – 1958) dan berdiri di atas
lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya.
Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syeikh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru.
Masjid ini juga sering mengadakan kegiatan Majelis Taklim, Kursus Kader Mubaligh,
Studi Islam, Kursus bahasa dan dakwah di Masjid Al Azhar sangat terbuka
menerima jamaah dari daerah lain. Kuliah subuh di masjid yang berdekatan
dengan Terminal Bus Blok M ini seringkali mendatangkan
pembicara-pembicara berkualitas dan terbuka bagi siapa saja yang ingin
mendengarkan.
2. MASJID AGUNG SUNDA KELAPA
Meletusnya peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 ternyata banyak memberi
pelajaran berharga. Sejak peristiwa menggemparkan itu, orang makin
menyadari pentingnya agama. Banyak masyarakat di Ibu kota merindukan
kembali ke suasana kehidupan yang lebih Islami. Setidaknya itulah
menurut pengamatan H.M. Kasasi, salah seorang pengurus harian Masjid
Agung Sunda Kelapa, Menteng, yang juga menjadi saksi atas berdirinya
salah satu masjid bergengsi di Jakarta itu.
Dahulu Menteng adalah tempat paling bergengsi, dan sampai sekarang pun masih.
Pejabat, petinggi, pengusaha kaya, para jenderal banyak memilih tinggal
di daerah ini. Tahun 1965, di beberapa lokasinya bahkan tercatat sebagai
tempat paling berdarah menurut sejarah. Tujuh jenderal diculik dan
tewas terbunuh.
Pencetus berdirinya Masjid Agung Sunda Kelapa, menurut Kasasi, adalah
Alamsyah Ratu Prawiranegara yang ketika itu masih bertugas di Sekretaris negara. Tahun 1966 sudah mulai terbentuk susunan
kepanitiaan pembangunan masjid, setelah sebelumnya menemui Gubernur
Ali Sadikin. Mereka menyampaikan keinginan
agar gedung BAPPENAS bisa dialihkan menjadi bangunan masjid, Masjid Raya
Menteng. Tapi ketika itu pemerintah dengan Kabinet Amperanya, ternyata
masih membutuhkan gedung itu–sampai sekarang masih dipakai.
Kemudian kepada Ali Sadikin, panitia meminta izin agar lokasi Stadion
Menteng atau lapangan Taman Sunda Kelapa dapat dijadikan sebagai lokasi
masjid itu. Menyetujui permohonan itu, Ali Sadikin justru meminta
panitia untuk memilih salah satunya. Tentu bisa ditebak, lapangan Taman
Sunda Kelapalah yang kemudian dipilih. Maka akhirnya pembangunan Masjid
Sunda Kelapa pun dimulai, peletakan batu pertamanya dilakukan tepat pada
tanggal 21 Desember 1969.
Sebagai masjid yang berada di lingkungan elit, tentunya pembangunan
masjid juga diperhitungkan secara matang. Tercatat, Masjid Sunda Kelapa
adalah masjid pertama di Jakarta yang menerapkan konsep baru tentang
arsitektur masjid berkelas. Masjid inilah yang pertama kali memadukan
konsep antara aktivitas ibadah, perekonomian dan pendidikan. Yang
kemudian diikuti oleh masjid-masjid lain di Jakarta sampai sekarang.
Aktivitas itu diakomodasi oleh keberadaan lantai yang berbeda. Lantai
atas adalah sebagai pusat ibadah dan dakwah. Lantai bawah, digunakan
sebagai aula/tempat resepsi (disewakan), perkantoran, perpustakaan,
ruang rapat, pengislaman dan tempat berwudhu.
Secara umum gaya arsitektur yang diterapkan pada masjid ini tetap
mengikuti gaya yang berkembang pada masa itu. Berciri modern, praktis
dan sederhana dalam memilih bentuk pintu, jendela, maupun asesoris. Ini
bisa dilihat dari bentuk bangunan yang lebih mengandalkan struktur beton
pada pilar, list-plang, dan atap. Atau model lampu taman, undakan
tangga maupun plaza di pintu masuk utamanya.
3. MASJID AL-ALAM (SI-PITUNG)
Jika Anda penggila kisah-kisah jampang Betawi tempo dulu, rasanya
belum pas kalau belum menengok Masjid Al-Alam atau lebih kesohor disebut
Masjid Si Pitung ini. Bayangkanlah, sebelum menjadi “Robin Hood”
Betawi, Pitung kecil disebutkan banyak menghabiskan waktu bermainnya di
masjid ini. Belajar agama, belajar ‘pukulan’ sampai sembunyi dari opas
dan kompeni, juga di masjid ini. Tapi jangan salah, bukan Si Pitung atau
keluarganya yang membangun masjid ini. Masjid yang terletak persis di
tepi Pantai Marunda Pulau, Kelurahan Cilincing ini diperkirakan dibangun
pada tahun 1600-an. Meski telah berusia 400 tahun, uniknya masjid ini
cukup terawat dengan baik walau kondisi ketuaannya tak bisa
disembunyikan.
Arsitekturnya mengingatkan pada model Masjid Demak, namun
berskala lebih mini-ukuran 10×10 m2. Atapnya yang berbentuk
joglo ditopang oleh 4 pilar bulat “kuntet,” seperti kaki bidak catur.
Mihrab yang pas dengan ukuran badan menjorok ke dalam tembok, berada di
sebelah kanan mimbar. Berbeda dengan masjid tua lain, uniknya masjid ini
berplafon setinggi 2 meter dari lantai dalam.
Terpeliharanya Masjid Al-Alam tak lepas dari bentuknya yang relatif
kecil menyerupai mushola. Selain itu, hingga kini pun masjid ini begitu
amat dicintai oleh penduduk sekitarnya. Hampir di setiap waktu-waktu
sholat, terutama Maghrib, dan ‘Isya, Masjid Al-Alam selalu diramaikan
jamaahnya. Bukan cuma itu, kelihatannya masjid ini sering didatangi para
peziarah pula. Hal ini terlihat dengan dibangunnya sebuah pendopo
persis di belakang masjid, sebelah timur yang terkesan sengaja
dihadirkan untuk upacara-upacara khusus.
Tidak diketahui pasti siapa pendiri masjid ini, minimnya data sama
halnya dengan ketidaktahuan masyarakat sekitar masjid. Bahkan tokoh
masyarakat di sekitar rumah tinggal Si Pitung sekalipun. Yang diketahui
oleh H. Atit, salah seorang pengurus masjid, bahwa orang-orang sekitar
menyebut masjid ini dengan sebutan Masjid Gaib. Dari dongeng
turun-temurun, disebutkan dalam proses pembuatannya dahulu, masjid ini
dibangun hanya dalam tempo sehari semalam saja. Tapi ditambahkan oleh H.
Atit, hal itu dimungkinkan, karena sebelum masjid ini ada, pasukan dan
rombongan Pangeran Fatahillah datang ke Marunda sesaat setelah menang
perang dengan Portugis di Sunda Kelapa.
Sejak tahun 1975 Masjid Al-Alam dinyatakan sebagai cagar budaya.
Pemda DKI Jakarta rajin menyokong setiap upaya untuk melestarikan masjid
ini. Di sekeliling masjid sekarang sudah dibuatkan pagar beton,
berbentuk seperti pagar batas provinsi. Untuk menjangkau masjid, dari
Tanjung Priok ada angkutan umum yang menuju ke Pasar Cilincing. Dan dari
pasar Cilincing, pengunjung mesti berganti angkutan yang menuju ke arah
Marunda. Dapat pula dipilih Angkot jurusan Bulak Turi, yang melintas ke
jalan masuk wilayah perkampungan Marunda.
4. MASJID AL-MAKMUR, CIKINI
Salah satu mesjid tua di Jakarta yang dibangun pada tahun 1923/1924.Masjid ini merupakan pindahan dari sebuah mushola/mesjid sederhana dari kayu dan gedek, yang kurang lebih sejak tahun 1850 pernah berada dalam kebun luas pelukis termasyhur Raden Saleh. Istrinya Raden Saleh yang diceraikan (1864), menjual tanah beserta rumahnya kepada keluarga Alatas. Kurang lebih tiga puluh tahun sesudahnya bekas rumah Raden Saleh dibeli (1897) oleh Vereeniging voor Ziekenverpleging, yang membuka Koningin Emma Ziekenhuis, yaitu Rumah sakit Cikini, pada tahun berikutnya. Masjid ini dipindahkan dengan cara memanggulnya secara bergotong-royong beberapa meter ke arah timur ke tempat sekarang, yakni di tepi Ciliwung dan Jl. Raden Saleh. Pemindahan ini dilakukan demi kepentingan jemaat, supaya dapat menggunakan air Ciliwung yang masih bersih pada awal ke-20.
Sayid Ismail bin Sayid Abdullah bin Alwi Alatas menjual sebagian tanah bekas milik istri Raden Saleh kepada Koningin Emma Stichting untuk membangun dan mengurus Rumah Sakit Cikini. Pada tahun 1906 pengadilan memenangkan Sayid Ismail sebagia pemilik tanah yang sah. Maka, ia menjual tanah tempat masjid ini berdiri kepada rumah sakit (1923). Pada tahun 1924 pihak rumah sakit ingin supaya masjid yang masih berdiri di atas tanah yang dibelinya itu dipindahkan lebih jauh. Tetapi, jemaat maupun beberapa tokoh umat Islam di Batavia menentang rencana itu, karena tanah ini dianggap wakaf dari Raden Saleh untuk membangun masjid.
Sebuah panitia yang didukung antara lain oleh H. Agus Salim kemudian membangun masjid kembali hingga menjadi yang kokoh seperti sekarang. Pada tahun 1932/1934 terjadi perombakan dan penambahan gedung dengan dukungan Sarikat Islam. Menara masjid ini luar biasa untuk Jakarta, karena tidak lancip di atas, melainkan membentuk kubah. Masalah tanah baru selesai pada tahun 1991, waktu pihak Rumah Sakit Cikini menyerahkan tanahnya kepada Pengurus Masjid al Makmur. Dua tahun kemudian dilaksanakan pemugaran dan perluasan lagi.
5. MASJID AL-MANSYUR, JEMBATAN LIMA
Salah satu masjid tua di Jakarta,
dulu bernama Masjid Jami Kampung Sawah, terletak di Jl. Sawah Lio II/33,
Kelurahan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Daerah ini
rupanya dihuni orang dari Bima (Sumbawa), karena itu nama Jembatan Lima
mungkin salah kaprah dengan Bima. Pada satu peta abad ke-19, kampung ini
disebut Sawah Masjid. Didirikan pada abad 18, tepatnya tahun 1130 H
(1717 M), ruang utama masjid al Mansur yang sekaligus bangunan tertua,
bersegi empat (12 x 14.40 m). Unsur yang mencolok adalah empat sokoguru
yang kokoh dan tampak kekar di tengahnya. Bagian bawah tiang-tiang ini
bersegi delapan dan diatasnya terdapat pelipit penyangga, pelipit genta
serta rata. Batang utama (di bagian tengah) berbentuk bulat dan dihiasi
pelipit juga. Bagian teratas berbentuk persegi empat dan dibatasi
pelipit.
Pada ketinggian setengah diantara keempat sokoguru terdapat balok-balok kayu antara lain untuk menopang kedua tangga yang menuju ke loteng. Di atas balok-balok selebar 55 cm itu di sisi kanan dan kiri dipasang pagar setinggi 80 cm. Pola pagar ini berbentuk belah ketupat. Konstruksi ini dan bentuk sokoguru bergaya barat. Atap masjid ini tumpang tiga yang berbentuk limasan. Menara, yang terletak di ruang baru di depan masjid lama, berbentuk silinder setinggi dua belas meter. Pada bagian keempat dan kelima dari menara itu terdapat teras yang berpagar besi. Atap menara berbentuk kubah.
Masjid ini mempunyai peranan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda dan Jepang di bawah Pimpinan KH. Mohammad Mansyur. Tahun 1947/1948 masjid digrebeg dan ditembaki serdadu NICA, Moh. Mansyur digiring ke Hoof Bereau karena telah berani mengibarkan bendera merah putih di menara masjid. Setelah Moh. Mansyur meninggal tanggal 12 mei 1967, masjid diberi nama Masjid Jami al-Mansyur. Tahun 1980 berdasarkan SK Mendikbud serta SK Gubernur DKI, masjid ini terdaftar sebagai benda cagar budaya.
6. MASJID AL-ANWAR, ANGKE
Pada ketinggian setengah diantara keempat sokoguru terdapat balok-balok kayu antara lain untuk menopang kedua tangga yang menuju ke loteng. Di atas balok-balok selebar 55 cm itu di sisi kanan dan kiri dipasang pagar setinggi 80 cm. Pola pagar ini berbentuk belah ketupat. Konstruksi ini dan bentuk sokoguru bergaya barat. Atap masjid ini tumpang tiga yang berbentuk limasan. Menara, yang terletak di ruang baru di depan masjid lama, berbentuk silinder setinggi dua belas meter. Pada bagian keempat dan kelima dari menara itu terdapat teras yang berpagar besi. Atap menara berbentuk kubah.
Masjid ini mempunyai peranan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda dan Jepang di bawah Pimpinan KH. Mohammad Mansyur. Tahun 1947/1948 masjid digrebeg dan ditembaki serdadu NICA, Moh. Mansyur digiring ke Hoof Bereau karena telah berani mengibarkan bendera merah putih di menara masjid. Setelah Moh. Mansyur meninggal tanggal 12 mei 1967, masjid diberi nama Masjid Jami al-Mansyur. Tahun 1980 berdasarkan SK Mendikbud serta SK Gubernur DKI, masjid ini terdaftar sebagai benda cagar budaya.
6. MASJID AL-ANWAR, ANGKE
Salah satu masjid tua di Jakarta
dan sekarang dikenal dengan nama Masjid Al-Anwar. Terletak di sebelah
selatan Jalan Pangeran Tubagus Angke (dulu Bacherachtsgracht) RT 01/RW
05, Kampung Rawa Bebek, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta
Barat. Didirikan pada tahun 1761 di KampungBali (yang pertama kali
disebut pada tahun 1687) oleh seorang bangsa Cina dari Tartar yang kawin
dengan orang Banten. Kampung di sekitar Masjid Angke dahulu disebut
"Kampung Goesti", karena dihuni oleh orang Bali di bawah pimpinan Kapten
Goesti Ktut Badulu. Ciri khas masjid ini merupakan bangunan campuran
yang harmonis antara unsur bangunan Bali Belanda Jawa serta Tionghoa.
Dikelilingi pagar tembok dan pagar besi
untuk sisi timur. Halaman masjid seluas ±500 m persegi. Bangunannya
merupakan perpaduan bentuk arsitektur yaitu gaya Jawa (terdapat pada
tajuk), gaya limas pada karpus, dan gaya Eropa pada bagian pintu dan
jendela. Ruang utamanya berdenah empat persegi, di dalamnya terdapat
tiang, mihrab dan mimbar. Atapnya berupa atap tumpang bersusun dua
berbentuk lim-san. Bangunan tambahannya berupa bangunan tempat sholat,
tempat wudhu, ruang perpustakaan, dan ruang untuk belajar mengaji. Pada
sisi utara bagian depan terdapat ruangan yang berfungsi sebagai
sekretariat dan ruang perpustakaan. Di sebelah kiri (sisi selatan) agak
ke depan dibuat ruangan yang berfungsi sebagai tempat anak-anak belajar
mengaji. Di kompleks masjid ini terdapat makam yang terbagi atas tiga
kelompok, dua kelompok terdapat di dalam kompleks sedang satu kelompok
di seberang (depan) masjid.
7. MASJID ISTIQLAL
Masjid Istiqlal merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara, Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Soekarno di mana pemancangan batu pertama, sebagai tanda dimulainya pembangunan
Masjid Istiqlal dilakukan pada tanggal 24 Agustus 1951. Arsitek Masjid Istiqlal adalah Fredrich Silaban seorang Kristen Protestan.
Lokasi kompleks masjid ini berada di bekas Taman Wilhelmina, di timur laut lapangan Medan Merdeka yang ditengahnya berdiri Monumen Nasional (Monas). Di seberang timur masjid ini berdiri Gereja Katedral Jakarta.
Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai dan satu lantai
dasar. Masjid ini memiliki gaya arsitektur modern dengan dinding dan
lantai berlapis marmer, dihiasi ornamen geometrik dari baja antikarat.
Bangunan utama masjid dimahkotai satu kubah besar berdiameter 45 meter
yang ditopang 12 tiang besar. Menara tunggal setinggi total 96,66 meter
menjulang di sudut selatan selasar masjid. Masjid ini mampu menampung
lebih dari dua ratus ribu jamaah.
Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat islam,
masjid ini juga digunakan sebagai kantor berbagai organisasi Islam di
Indonesia, aktivitas sosial, dan kegiatan umum. Masjid ini juga menjadi
salah satu daya tarik wisata
yang terkenal di Jakarta. Kebanyakan wisatawan yang berkunjung umumnya
wisatawan domestik, dan sebagian wisatawan asing yang beragama Islam.
Masyarakat non-Muslim juga dapat berkunjung ke masjid ini setelah
sebelumnya mendapat pembekalan informasi mengenai Islam dan Masjid
Istiqlal, meskipun demikian bagian yang boleh dikunjungi kaum non-Muslim
terbatas dan harus didampingi pemandu.
8. MASJID AL-ATIQ, KAMPUNG MELAYU
Mungkin banyak orang yang tidak tahu mengenai
keberadaan Masjid Jami’ Al Atiq. letaknya yang berada di tengah
permukiman dan jauh dari jalan besar, menyebabkan masjid ini luput dari
perhatian masyarakat. Sepintas jika diperhatikan, tidak ada yang spesial
dari masjid ini, baik dari luas maupun bentuk arsitektur bangunannya.
Tapi,
siapa yang menyangka, di balik kesederhanaannya, masjid ini ternyata
menyimpan sejarah perkembangan penyebaran agama Islam di Jakarta. Ya,
masjid ini memang dikenal sebagai masjid tertua kedua di Jakarta. Tidak
hanya itu, konon dulunya masjid ini pernah dijadikan tempat persinggahan
para wali untuk shalat di tanah Batavia. Subhanallah?
Masjid
ini beralamat di Jl. Masjid I, RW I, Kampung Melayu Besar, Tebet,
Jakarta Selatan. Kapan persisnya masjid ini berdiri memang banyak versi,
pengurus masjid setempat meyakini bahwa masjid ini didirikan tahun1670
oleh pasukan Sultan Agung Tirtayasa yang tengah berperang melawan VOC.
Dahulunya, masjid ini digunakan sebagai tempat pengungsian warga
Jayakarta ketika dikuasai oleh VOC
Namun,
ada versi lain yang mengatakan kalau masjid ini didirikan sekitar tahun
1500 oleh Sultan pertama Banten, Maulana Hasanudin yang juga putra dari
Sunan Gunung Jati. Yang percaya versi ini umumnya menunjuk struktur dan
arsitektur masjid yang tak banyak beda dengan masjid-masjid buatan
Walisongo yang berada di Jawa Tengah.
Atapnya berbentuk prisma sedangkan penyangganya dulunya terbuat dari
kayu jati, yang sayang kini telah dipugar berganti dengan beton-beton
berlapis keramik atau marmer. Dulunya, masjid ini bernama masjid Jami Kampung Melayu, nama ini baru
diganti dengan Al Atiq yang artinya kemenangan di tahun 1949. Beberapa
tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia.
Selain itu, masjid ini juga menyimpan cerita-cerita seru. Seperti
tentang ampuhnya tongkat khatib di mimbar masjid. Alkisah, pernah suatu
ketika ada seorang yang disembuhkan penyakitnya lewat ramuan dari
serpihan kayu pada tongkat itu.
Menurut
H. Imran, belakangan memang banyak orang-orang dari luar kota meminta
serpihan tongkat dengan cara mengkerik bagian bawah tongkat. Namun,
lanjut Imran, demi menjaga tongkat agar tidak rusak, kini aksi
mengkerik tongkat tersebut sudah dilarang .
9. MASJID AL-BARKAH, BANGKA JAKARTA SELATAN
Sebuah masjid tua yang dibangun pada awal abad ke 19. Padahal
di tahun-tahun itu, Bangka termasuk daerah pedalaman. Tapi mungkin saja, karena
bisa jadi Bangka berdekatan dengan Blok M. Wilayah elit yang dirancang oleh dan
untuk orang-orang Belanda ketika itu.
Di Bangka, tepat di pertengahan Jalan Kemang
Utara pertigaan Jalan Kemang Timur, di situ terdapat sebuah masjid dengan atap
joglo mirip bangunan Masjid Demak. Masjid itu adalah Masjid Jami Al Barkah yang
didirikan tahun 1818 oleh seorang yang disebut Guru Sinin. Guru Sinin ini
diyakini sebagai wali yang berasal dari Banten. Tapi sesungguhnya yang ada
sekarang bukan bangunan asli seperti pertama kali dibangun tahun 1818. Replika
masjid ini awalnya beratapkan rumbia dengan tiang penyangga dari batang kelapa
berdinding papan.
Lokasi masjid saat itu pun bukan merupakan
tanah matang. Dahulunya daerah berawa-rawa dengan kedalaman satu meter.
Kemudian pada tahun 1932 pemugaran masjid secara permanen mulai dilakukan.
Penggunaan material modern pun mulai dipakai, seperti bahan semen, genteng,
batu bata dan lain sebagainya. Mulai tahun 1935, lalu 1950, 1960 dan 1970
bentuk fisik masjid sudah banyak mengalami perubahan. Ada penambahan-penambahan
bangunan lain di sekitar masjid. Misalnya teras dan pagar dalam, juga pembuatan
menara pendek setinggi kurang lebih 15 meter di muka masjid.
Sejak tahun 1985 tampilan masjid bertambah
cantik, apalagi dengan dipakainya bahan keramik untuk lantai dan eternit untuk
langit-langitnya. Sebagaimana masjid tua lainnya, Masjid Jami Al Barkah juga
meninggalkan jejak sejarahnya. Di bagian barat masjid terdapat makam-makam tua
yang salah satunya merupakan makam dari Guru Sinin yang wafat tahun 1920. Juga
ada makam menantu dan cucu Guru Sinin, KH.Ridi yang wafat tahun 1933 dan KH
Naisin yang hidup hingga usia 132 tahun. Sebagai tetua di Bangka, Guru Sinin
dikenal pula sebagai orang yang memiliki ilmu kanuragan. Di hari-hari tertentu
makam-makam tua itu masih didatangi para peziarah.
10.MASJID AL-ISLAM, PETAMBURAN
Disebutkan, perjalanan Sultan Raja
Burhanuddin yang semula adalah 'plesiran' biasa berubah menjadi perjalanan
bermisi dakwah. Sejak itu Sultan Raja Burhanuddin langsung
berinisiatif mendirikan masjid yang cukup mudah dijangkau dari lokasi pasar dan
pemukiman masyarakat pedagang di Tanah Abang. Dengan dibantu oleh berbagai
pihak, berdirilah kemudian di tahun 1770 Masjid Jami Al-Islam yang karena
perkembangan wilayah kini berada di Jalan KS Tubun 61, Petamburan, Jakarta
Pusat. Dalam perjalanan tahun-tahun berikutnya Masjid Jami Al-Islam kemudian
dipimpin oleh seorang ulama asal Hadramaut, Yaman Selatan berjuluk Habib Usman.
Dalam melancarkan dakwahnya, Habib Usman
banyak dibantu oleh dua orang kepercayaannya, yakni Haji Saidi dan Haji Muala
yang asli Betawi Petamburan. Hingga tahun '20-an, dari tiga orang ulama
Petamburan itu, yang tersisa kemudian hanya tinggal Haji Muala. Sejak itu
aktivitas dakwah di wilayah Petamburan dilakukan sendirian oleh Haji Muala yang
juga menjabat sebagai Kepala Takmir Masjid Jami Al-Islam. Tahun 1925 mendahului
ikrar penggunaan bahasa Indonesia pada "Sumpah Pemuda" 1928, Haji
Muala sudah merintis pemakaian bahasa Melayu dalam khotbah Jum'at di Masjid
Jami Al-Islam.
Terobosan baru Haji Muala itu, sempat
mendapat kecaman dari sesama ulama tradisional di wilayah Petamburan. Maklum
saja, sebab di masa itu di seluruh wilayah Batavia (Betawi) semua masjid
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar khotbah Jum'at. Meski dicap
sebagai masjid yang melakukan bid'ah, Haji Muala tak bergeming. Yang terpikir
di benaknya ketika itu hanyalah bagaimana caranya agar dakwah Islam bisa cepat
diterima oleh alam pikiran masyarakat Melayu.
Polemik panjang antara Haji Muala dengan para
ulama itu, terdengar sampai ke kuping Pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya Haji
Muala digiring ke Kantor Polisi Belanda (HofdBureau) untuk dimintai
keterangan, dan diminta untuk menuruti keinginan para ulama. Walaupun dilarang
Haji Muala tetap saja dengan keputusannya. Tapi anehnya, banyak masjid di
sekitar Tanah Abang hingga seluruh wilayah Betawi beringsut-ingsut mengikuti
jejak Masjid Jami Al-Islam menerapkan bahasa Melayu.
11. MASJID JAMI’ AL-MAKMUR KEBON KACANG
Perang antara
Kerajaan Mataram, pimpinan Sultan Agung melawan VOC dibawah komando Jenderal Jan
Pietersen Coen memperebutkan Batavia (1613-1645), ternyata banyak membawa
hikmah. Meski kocar-kacir kalah hingga dua kali, banyak dari eks tentara
Mataram memilih untuk menetap di Batavia membuka daerah-daerah baru di sekitar
pusat kota.
Bahkan sudah menjadi rahasia sejarah, sedikit
banyak, orang-orang Mataram ini memberi pengaruh pula pada pembentukan budaya
awal masyarakat Betawi. Mulai dari struktur bahasa, adat istiadat, pakaian
sampai nama-nama tempat di sekitar Betawi tempo dulu.
Masjid Al Makmur sekarang persis bersebelahan
dengan Pasar Tanah Abang, bercikal bakal dari sebuah langgar/mushola yang
dibangun oleh KH. Muhammad Asyuro tahun 1704 Masehi. Keberadaan langgar ini
terus berlanjut sampai ke generasi KH. Muhammad Asyuro berikutnya.
Dengan semakin berkembangnya perkampungan dan
bertambahnya jumlah penduduk sekitar langgar, keberadaan langgar itu dirasa
tidak representatif lagi menampung jamaah yang semakin bertambah. Atas
inisiatif tokoh masyarakat Tanah Abang keturunan Arab, Abu bakar bin Muhammad
bin Abdurrahman Al-Habsyi, tahun 1915 langgar diubah menjadi masjid besar.
Masjid yang dibangun di atas tanah wakaf 1.142 m2, milik Abu Bakar
itu kemudian diberi nama Al-Makmur.
Tahun 1932 masjid ini diperluas hingga ke
arah utara seluas 508 m2. Perluasan di atas tanah wakaf Salim Bin
Muhammad bin Thalib itu kemudian ditambah lagi dengan sebidang tanah milik
masjid di bagian belakang seluas 525 m2 di tahun 1953. Jadi luas
total masjid ini tercatat memakan lahan sebesar 2.175 m2. Tapi
jangan heran jika kita melongok Masjid Al-Makmur yang terletak di Jalan KH Mas
Mansyur 6 sekarang, sosoknya terlihat tidak begitu istimewa. Tergeser oleh
hiruk-pikuk pasar yang ruwet, dengan pemandangan kaki lima yang tumpah ke
jalan, masjid ini seperti kehilangan karisma sebagai masjid tua.
Akibat pengembangan jalan, kini Masjid Al-Makmur
hanya menyisakan (habis) beranda depan dengan tiga gerbang berpilar ramping
berbentuk kelopak melati dan list-plang dengan lima lubang angin serta dua
menara berkubah kecil bergaya mercusuar (dengan jendela dan teras) di kiri
kanan bangunan utama. Sementara, kadang-kadang pedagang kaki lima dengan
enaknya menjajakan dagangannya di muka masjid. Jadi lengkap sudah kesendirian
Masjid Al Makmur.
12. MASJID ASSALAFIAH, JATINEGARA KAUM
Tahun 1700 Pangeran Sugeri, putera Sultan
Fatah dari Banten, memugar masjid ini. Sebelumnya bersama-sama dengan Pangeran
Jayakarta, Sugeri dan Fatah yang terbuang dari Kesultanan Banten ini karena
Sultan Haji saudara Sultan Fatah melakukan kup dibantu Belanda, berjuang
melawan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pangeran Jayakarta dan Pangeran
Sugeri kemudian dimakamkan di komplek masjid bertiang penyangga jati ini.
Tercatat beberapa peninggalan sejarah masjid
ini hilang tak ketahuan rimbanya. Yang tersisa hanya empat tiang penyangga dan
sebuah kaligrafi Arab berbentuk sarang tawon di dalam plafon menara masjid.
Seperti nasib masjid tua lainnya, As-Salafiyah sekarang lebih terlihat lapang.
Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan marmer menutupi hampir
seluruh temboknya. Persis sama dengan masjid-masjid seumurnya, tampaknya ukuran
asli As-Salafiyah hanya seluas empat pilar dengan selasar sepanjang 5 meter di setiap
sisinya, separuh bagian barat bangunan. Dan inilah masjid tua yang paling
banyak memiliki makam di sisi selatan, barat, dan utara.
13. MASJID LAUTZE
Masjid Karim Oei atau lebih
dikenal sebagai Masjid Lautze, yang terletak di Jl Lautze Raya,
Pasarbaru, Jakarta Pusat nampaknya menjadi salah satu simbol sejarah
bagi warga Tionghoa muslim di Jakarta. Setidaknya masjid ini telah
menyimpan sejarah dua kebudayaan yang berbeda, yakni kebudayaan Islam
(pribumi) dan kebudayaan Tionghoa yang hidup berdampingan sejak puluhan
tahun silam.
Berbeda dengan masjid pada umumnya, Masjid Lautze terbangun kental dengan nuansa oriental. Tak ada kubah di masjid ini. Bangunannya pun didominasi warna merah yang dikenal sebagai warna khas masyarakat Tionghoa. Bahkan bentuk fisik bangunannya dibuat khas budaya Tionghoa, dengan harapan dapat menarik perhatian warga China yang ingin belajar Agama Islam di masjid tersebut.
Jika memasuki Masjid Lautze, kita tak menemukan suasana masjid-masjid yang ada pada umumnya. Bentuk bangunannya pun lebih mirip sebuah ruko atau sebuah kantor. Warna merah hati mendominasi seluruh pintu depan masjid. Begitu pula ketika memasuki ruangan, warna merah dan kuning keemasan mendominasi seluruh sudut ruangan yang ada di dalam masjid. Jika diperhatikan masjid Lautze malah lebih mirip bangunan klenteng.
Bangunan ini terdiri dari empat lantai, masing-masing lantai memiliki ruangan yang berbeda. Pada lantai 1 dan 2 dikhususkan sebagai masjid atau ruang tempat ibadah, lantai 3 sebagai ruang sekretariat masjid, dan lantai 4 sebagai aula. Yang harus diingat adalah, jangan membayangkan kalau Masjid Lautze ini buka 24 jam seperti masjid pada umumnya. Karena setiap hari Sabtu dan Minggu, pukul 07.00 ke atas masjid ini tutup.
“Yang membuat unik masjid ini dibanding masjid lainnya, yakni kami di sini buka sesuai jam kerja. Khusus pada hari Sabtu dan Minggu Masjid Lautze tutup. Tapi di saat hari khusus seperti bulan Ramadhan, masjid ini akan dibuka tanpa batas waktu,” kata Yusman Iriansyah, salah seorang pengurus masjid Lautze saat disambangi di ruang kerjanya, Sabtu (14/11).
Selama bulan Ramadhan, kata Yusman, Masjid Lautze digunakan sebagai tempat ibadah oleh warga sekitar. Menariknya pada bulan tersebut, kegiatan masjid seperti buka puasa bersama dan pengajian dihadiri oleh sebagian besar warga Tionghoa yang berada di daerah Pecinan.
Kegiatan yang dilakukan diantaranya memberikan informasi tentang Agama Islam kepada warga keturunan Tionghoa, utamanya yang ingin memeluk Islam. Kemudian, mengadakan pengajian, konsultasi Islami, pengislaman, penyelenggaraan akad nikah, menyelenggarakan silaturahmi antara muallaf dengan muslim lainnya, dan beberapa kegiatan lainnya.
Yusman menjelaskan sejak tahun 1997 hingga 2009 ini tercatat sudah lebih dari 800 orang yang memeluk Agama Islam atau menjadi muallaf melalui masjid ini. Dari jumlah tersebut 90 persen adalah warga Tionghoa dan sisanya warga asing dan pribumi. “Jumlah tersebut yang terdata dari tahun 1997. Tapi jika digabungkan dengan data tahun 1994, bisa mencapai lebih dari 1.000 orang,” jelas Yusman.
Perkembangan Masjid Lautze serta komunitas muslim Tionghoa merupakan warna unik perkembangan Islam di nusantara. Sebagian besar jamaah Masjid Lautze berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Masjid Lautze diresmikan mantan presiden BJ Habibie pada tahun 1991. Menurut sejarah, Masjid Lautze ini awalnya hanya sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Oei Tjeng hien. Dimana yayasan ini dibangun oleh salah seorang muslim Tionghoa bernama Haji Karim Oei atau lebih dikenal dengan nama Ali karim Oei.
Berbeda dengan masjid pada umumnya, Masjid Lautze terbangun kental dengan nuansa oriental. Tak ada kubah di masjid ini. Bangunannya pun didominasi warna merah yang dikenal sebagai warna khas masyarakat Tionghoa. Bahkan bentuk fisik bangunannya dibuat khas budaya Tionghoa, dengan harapan dapat menarik perhatian warga China yang ingin belajar Agama Islam di masjid tersebut.
Jika memasuki Masjid Lautze, kita tak menemukan suasana masjid-masjid yang ada pada umumnya. Bentuk bangunannya pun lebih mirip sebuah ruko atau sebuah kantor. Warna merah hati mendominasi seluruh pintu depan masjid. Begitu pula ketika memasuki ruangan, warna merah dan kuning keemasan mendominasi seluruh sudut ruangan yang ada di dalam masjid. Jika diperhatikan masjid Lautze malah lebih mirip bangunan klenteng.
Bangunan ini terdiri dari empat lantai, masing-masing lantai memiliki ruangan yang berbeda. Pada lantai 1 dan 2 dikhususkan sebagai masjid atau ruang tempat ibadah, lantai 3 sebagai ruang sekretariat masjid, dan lantai 4 sebagai aula. Yang harus diingat adalah, jangan membayangkan kalau Masjid Lautze ini buka 24 jam seperti masjid pada umumnya. Karena setiap hari Sabtu dan Minggu, pukul 07.00 ke atas masjid ini tutup.
“Yang membuat unik masjid ini dibanding masjid lainnya, yakni kami di sini buka sesuai jam kerja. Khusus pada hari Sabtu dan Minggu Masjid Lautze tutup. Tapi di saat hari khusus seperti bulan Ramadhan, masjid ini akan dibuka tanpa batas waktu,” kata Yusman Iriansyah, salah seorang pengurus masjid Lautze saat disambangi di ruang kerjanya, Sabtu (14/11).
Selama bulan Ramadhan, kata Yusman, Masjid Lautze digunakan sebagai tempat ibadah oleh warga sekitar. Menariknya pada bulan tersebut, kegiatan masjid seperti buka puasa bersama dan pengajian dihadiri oleh sebagian besar warga Tionghoa yang berada di daerah Pecinan.
Kegiatan yang dilakukan diantaranya memberikan informasi tentang Agama Islam kepada warga keturunan Tionghoa, utamanya yang ingin memeluk Islam. Kemudian, mengadakan pengajian, konsultasi Islami, pengislaman, penyelenggaraan akad nikah, menyelenggarakan silaturahmi antara muallaf dengan muslim lainnya, dan beberapa kegiatan lainnya.
Yusman menjelaskan sejak tahun 1997 hingga 2009 ini tercatat sudah lebih dari 800 orang yang memeluk Agama Islam atau menjadi muallaf melalui masjid ini. Dari jumlah tersebut 90 persen adalah warga Tionghoa dan sisanya warga asing dan pribumi. “Jumlah tersebut yang terdata dari tahun 1997. Tapi jika digabungkan dengan data tahun 1994, bisa mencapai lebih dari 1.000 orang,” jelas Yusman.
Perkembangan Masjid Lautze serta komunitas muslim Tionghoa merupakan warna unik perkembangan Islam di nusantara. Sebagian besar jamaah Masjid Lautze berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Masjid Lautze diresmikan mantan presiden BJ Habibie pada tahun 1991. Menurut sejarah, Masjid Lautze ini awalnya hanya sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Oei Tjeng hien. Dimana yayasan ini dibangun oleh salah seorang muslim Tionghoa bernama Haji Karim Oei atau lebih dikenal dengan nama Ali karim Oei.
14. MASJID HIDAYATULLAH, KARET
Masjid Hidayatullah di daerah Karet Setiabudi, Jakarta mencoba bertahan
meski telah dihimpit oleh gedung-gedung perkantoran pencakar langit.
Posisinya yang strategis membuat masjid ini menjadi semacam oase jiwa
bagi siapa saja yang menemui kekosongan hidup ditengah keramaian kota
Jakarta.
Masjid Hidayatullah merupakan salah satu masjid yang arsitektur bangunannnya terdapat sentuhan budaya Thionghoa. Salah satu sumber sejarah menyebut masjid ini dibangun pada tahun 1747 di atas lahan wakaf pengusaha Batik Mohamad Yusuf yang tinggal di daerah Karet.
Di sekitar masjid Hidayatullah terdapat makam orang muslim yang dirawat begitu apik, di antara rimbunan pepohonan rindang yang meneduhi kawasan ini. Sudah tiga kali masjid ini direnovasi, yaitu tahun 1921, 1948, dan 1996. Namun renovasi sama sekali tidak mengubah wajah asli masjid.
Jika melihat dari luar, masjid yang sempat akan digusur ini terlihat seperti bangunan khas Thionghoa, Pengaruh gaya bangunan Tionghoa tampak pada bentuk atap bangunan utama dan menara, yakni jurai atap melengkung. Pengaruh ini tampak pula pada gaya ukir mimbar yang berupa hiasan flora (lotus, daun artimesia) dan fauna (burung, ayam dan kerang).dengan atap bersusun tiga melengkung. Sementara kehadiran dua menara yang simetris adalah ciri budaya Hindu yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah. Namun saat memasuki lingkungan masjid, jamaah dapat merasakan budaya lain. Pintu-pintu dan jendela yang ada menunjukan gaya Betawi.
Masjid ini menjadi saksi bisu perjuangan umat Islam saat melawan penjajah. Saat penjajahan dulu sering dipakai sebagai tempat mengatur strategi. Dua menara menjulang tinggi di kanan dan kiri pintu masuk masjid dulunya juga dipakai untuk mengintai musuh. Melalui masjid inilah pengiriman senjata ke daerah Karawang dan Cikampek dilakukan.
Sumber : Berbagai Sumber
Masjid Hidayatullah merupakan salah satu masjid yang arsitektur bangunannnya terdapat sentuhan budaya Thionghoa. Salah satu sumber sejarah menyebut masjid ini dibangun pada tahun 1747 di atas lahan wakaf pengusaha Batik Mohamad Yusuf yang tinggal di daerah Karet.
Di sekitar masjid Hidayatullah terdapat makam orang muslim yang dirawat begitu apik, di antara rimbunan pepohonan rindang yang meneduhi kawasan ini. Sudah tiga kali masjid ini direnovasi, yaitu tahun 1921, 1948, dan 1996. Namun renovasi sama sekali tidak mengubah wajah asli masjid.
Jika melihat dari luar, masjid yang sempat akan digusur ini terlihat seperti bangunan khas Thionghoa, Pengaruh gaya bangunan Tionghoa tampak pada bentuk atap bangunan utama dan menara, yakni jurai atap melengkung. Pengaruh ini tampak pula pada gaya ukir mimbar yang berupa hiasan flora (lotus, daun artimesia) dan fauna (burung, ayam dan kerang).dengan atap bersusun tiga melengkung. Sementara kehadiran dua menara yang simetris adalah ciri budaya Hindu yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah. Namun saat memasuki lingkungan masjid, jamaah dapat merasakan budaya lain. Pintu-pintu dan jendela yang ada menunjukan gaya Betawi.
Masjid ini menjadi saksi bisu perjuangan umat Islam saat melawan penjajah. Saat penjajahan dulu sering dipakai sebagai tempat mengatur strategi. Dua menara menjulang tinggi di kanan dan kiri pintu masuk masjid dulunya juga dipakai untuk mengintai musuh. Melalui masjid inilah pengiriman senjata ke daerah Karawang dan Cikampek dilakukan.
Sumber : Berbagai Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar