“Hari ini ga lembur Salwa?” Tanya
Desi rekan kerja ku
“Ga…aku harus segera pulang..!! meeting
besok pagi jangan lupa ya dipersiapkan proposalnya. Aku duluan” aku segera
berpamitan kepada Desi
“Ok..hati-hati ya” dan aku balas
dengan lambaian tangan segera berlari ke pintu lift yang hendak tertutup
Di halte, ternyata rintik-rintik
gerimis turun membasahi bumi kota metropolitan ini, dan suasana seperti ini
selalu membuat hatiku pun terasa basah akan suasana kehampaannya.
Setibanya di rumah aku segera
berganti pakaian yang kuyup oleh hujan. Kurebahkan diri yang terasa lelah,
memandang langit-langit kamar yang bersinarkan temaram lampu yang agak meredup.
Aku teringat sesuatu, untuk mempersiapkan dokumen yang sekiranya diperlukan
untuk meeting ke esokan hari.
Di tengah pencarian ‘bruuuuk’ sebuah
buku usang dan agak berdebu terjatuh di lantai. Segera aku ambil yang ternyata
adalah buku tahunan sekolah. Ku sapu debu yang menyelimuti, kubuka halaman per
halaman dan pandanganku terhenti pada sebuah gambar seseorang dimana begitu
dalam kusimpan rapi rasa dihati ini untuknya.
Saat itu, aku masih berseragam putih
– biru, aku yang memang pendiam dan pemalu tidak pandai bergaul dan membaur
bersama teman-teman lainnya. Hingga kemudian ia datang membawa setitik warna
bagi hidupku.
Azka hadir dengan kenakalan khas
anak-anak pada umumnya. Pernah suatu kali ia membuat aku menangis karena
menempelkan permen karet di kursiku sehingga rok yang ku kenakan pun kotor dan
meninggalkan noda yang tidak bisa hilang.
Namun, disisi kenakalannya pada
dasarnya aku tahu ia anak yang baik, ia bisa membuat aku tersenyum dan merasa
diterima oleh teman lainnya. Benih-benih perasaan itu mulai tumbuh dan aku
mulai merasa kehilangan saat ia tidak ada.
“Salwa…” panggil Azka menghampiriku
saat pulang sekolah
Hatiku berdetak tak karuan, aku
berusaha untuk bersikap sebagaimana biasanya “Kenapa ?” tanyaku
“Pinjem catetan sejarah yang tadi
dong..”
“Lho..emangnya kamu ga nyatet ?”
“tadi teman-teman dibelakang
ngajakin bercanda, jadi ketinggalan materi nya..pinjem ya..kamu kan udah pinter
ini” Azka terus merajuk
Aku segera mengeluarkan buku catatan
sejarah yang dimintanya “Besok dikembalikan ya..” Aku mengingatkan
“Siap Boss..” Azka memberi hormat
dan segera berlari meninggalkan aku. Selepas kepergiannya aku hanya mengulum
senyum
Selang setahun kemudian saat kenaikan kelas ternyata ada
rolling antar kelas dimana akhirnya kelasku dan Azka tidak lagi sama. Lambat
laun sikap Azka mulai berubah. Ia tidak seramah dulu, ia semakin menjauh bahkan
selalu memutar arah bila berhadapan denganku. Ingin bertanya tapi ia selalu
menghindar. Jujur aku sedih dengan perubahannya saat ini.
Dari balkon lantai 2 depan kelas,
aku hanya bisa menatapnya yang bersenda gurau bersama kawan-kawan lainnya serta
menyaksikan ia yang lihai menggiring bola di tengah lapangan.
“Masih nyimpen perasaan untuk dia??
Kalau suka mestinya di sampaikan langsung neng” suara seseorang mengagetkanku
“Indri..bikin kaget saja. Nyimpen
perasaan gimana maksudnya??” aku bertanya heran
“Udah hampir kesebar satu sekolah
kali. Kalau kamu itu suka sama Azka..iya kan?”
Terang saja aku terkejut, selama ini
aku tidak pernah menceritakannya pada siapapun
“kamu menempelkan puisi di mading
itu untuk Azka kan?”
“Puisi ??”
Aku teringat akan lembaran puisiku
yang hilang dari catatan harianku, mungkinkah puisi itu. Aku segera berlari ke
mading
“Oh..Tuhan..bagaimana bisa catatan
ini ada di mading?? Siapa yang sudah lancang meletakannya di sini tanpa
seizinku” aku melepas lembaran itu, mataku berkaca “inikah sebab Azka menjauh
dari aku”
Aku menutup kembali buku tahunan
itu, hanya mengingatkanku pada rasa sakit rasa yang terpendam. Karena pada
dasarnya rasa itu tidak benar-benar terungkap dan ia “Bintang hatiku” telah
menjauh dariku.
Ke esokannya aku menjalankan hari
sebagaimana biasa, waktu demi waktu bergulir meninggalkan setiap jejak kenangan.
Saat makan siang aku merasakan sakit
yang luar biasa dan membuat tubuhku terasa lemas. Tersadar aku ternyata sudah
berada di ruang dan aroma obat-obatan menyengat. Di samping ranjang ku sudah
ada Desi menemani.
“Kenapa aku ada di sini ?” Tanyaku
kebingungan
“Tadi kamu pingsan saat kita makan
siang dan dokter sudah memeriksanya. Kamu harus di opname beberapa hari” Desi
memberi keterangan
“di opname?? Aku merasa baik-baik
saja…memangnya kata dokter apa??” tanyaku
“saat ini Iqbal adikmu sedang
berbicara sama dokter, sebentar lagi ia juga datang” jawab Desi
Tak lama kemudian pintu ruangan
terbuka, Iqbal datang dengan membawa beberapa berkas
“Apa kata dokter?”
“Kakak mesti di opname, prediksi
dokter ada gangguan dalam paru-paru. Besok pagi kakak harus di rongten untuk
observasi lebih lanjutnya” Iqbal menerangkan
“Ya sudah, kalau begitu aku pamit
ya…cepet sembuh ya. Aku butuh tim seperti kamu di kantor” Desi berpamitan
“terima kasih ya Des..”
Setelah pemeriksaan laboratorium,
terdeteksi bahwa aku terkena infeksi paru-paru dan menurut dokter sudah cukup
akut. Butuh perawatan dan penanganan lebih lanjut, namun aku lebih memilih
untuk berobat jalan dibandingkan harus lebih lama berada di ruang sunyi rumah
sakit.
Hari ini, awal februari tepat moment
spesialku bahkan aku lupa karena sibuknya
bekerja namun Desi dan beberapa rekan kerja lain memberikan surprise
kecil di hari jadiku yang seperempat abad kini.
“Selamat ulang tahun ya say..” Desi
memberikan selamat “Semoga cepet ketemu jodohnya” ia menggoda
“Terima kasih say..” aku membalas
semua ucapan yang mengalir padaku hari itu
Bahagia rasanya, saat berada di
tengah orang-orang yang perduli dan memperhatikan kita. Terlebih di hari
lahirku langkah awal menuju masa yang baru. Tak lama setelahnya aku kembali
tenggelam dalam runtinitas pekerjaan. Di tengah kesibukan itu tiba-tiba
ponselku berbunyi, ada sms dari Iqbal. Sepulang kerja ini ia memintaku untuk
menemuinya di sebuah warung makan steak tempat favoritenya. Aku tidak berfikir
sama sekali akan rencananya, perkiraanku semula adalah biasanya ia hanya
meminta untuk di traktir makan.
Jam di pergelangan tanganku sudah
menunjukan angka 8, aku sudah menunggu Iqbal hampir satu jam-an. Sudah di
hubungi beberapa kali namun ponselnya tidak aktif, terbersit kekhawatiran
terjadi sesuatu pada adikku. Saat aku hendak beranjak dari tempat duduk
tiba-tiba ada seseorang dengan membawa sebuah kue tart dan lilin di atasnya
menyanyikan lagu ulang tuhun untukku.
“Happy birthday to you..happy
birthday..happy birthday..happy birthday to you” Suara seseorang menyanyikan
lagu ulang tahun untukku
Secara samar aku tidak mengenalinya,
Aku mengira sebelumnya bahwa itu adalah Iqbal, namun ketika aku berpaling dan
mempertegas penglihatan aku tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutanku.
Seseorang yang setelah 10 tahun tidak pernah bertemu, tidak lagi bertegur sapa
namun menempati ruang rindu dalam hati yang tidak pernah terganti.
Mungkin terdengar konyol selama
lebih dari 10 tahun rasa dalam hatiku tetap tersimpan rapi, meski beberapa
cinta lain mencoba menghampiri namun tetap tidak bisa menggeser kedudukannya di
hatiku. Aku tetap menyimpan rapi untuknya, sebuah nama yang tidak pernah
terganti dan telah bersemayam lama dalam kalbu.
Dalam kesunyian, kerap kali rindu
itu datang. Namun aku takut, aku takut menghubunginya kembali. Ia menjauh dari
ku begitu saja tanpa aku tahu kesalahan fatal apa yang telah ku lakukan. Dan
kini setelah ribuan detik berlalu ia berada di hadapanku dengan membawa sebuah
kue tart dan menyanyikan lagu untukku.
“Salwa selamat ulang tahun ya…” Azka
mengulurkan tangannya
Aku terdiam karena keterkejutan yang
amat sangat, bahkan aku sempat berfikir ini hanyalah mimpi.
Azka meletakan kue tart yang di pegangnya
di atas meja
“Apa kabar Salwa ?” tanyanya membuka
percakapan
“Baik…” aku masih terasa canggung
mencoba menata hatiku “kamu apa kabar?” aku balik bertanya
“Aku juga baik” ia tersenyum
“Ehmm..hmm..bagaimana kamu bisa tahu
aku ada di sini??”
“Tahu dari Iqbal..”
“Terus sekarang Iqbal nya dimana??”
“tadi dia memintaku untuk langsung
ke sini menemui kamu..dia akan menyusul katanya” Jawabnya
“oh..ya, kamu masih menggeluti hoby
mu??” tanyaku
“Sampai saat ini masih, hampir masuk
klub nasional tapi di seleksi akhir gagal karena suatu hal. Sekarang hanya
sering bermain futsal aja bersama teman-teman” jawabnya
Dan ceritapun mengalir, mungkin
lebih banyak dia yang bertanya padaku karena aku benar-benar tidak bisa
mengendalikan detak jantung yang berdetak tidak karuan. Di saat aku hendak
bertanya perihal masa lalu, masa dimana keakraban yang tiba-tiba kandas, ponsel
Azka berbunyi.
“Maaf..aku angkat telepon dulu” Azka
meminta izin mengangkat telepon dan menjauh dariku dan aku balas dengan
senyuman serta sebuah anggukan.
Lama Azka belum juga kembali, aku
pun mencoba menghubungi Iqbal namun ponselnya justru belum juga aktif. Sambil
menunggu Azka kembali aku hendak ke toilet dan saat di sebuah sudut ruangan aku
melihat punggung Azka, aku mencoba menghampirinya tapi langkahku terhenti saat
aku dengar perbincangannya di telepon. Aku mencuri dengar pembicaraan tersebut.
“Kamu Jangan ngambek gitu dong Beib.
Aku menemui Salwa karena permintaan Iqbal adiknya yang tidak lain adik kelasku
semasa SMA dulu. Aku ga enak untuk nolak permintaannya. Iqbal Cuma ingin menyenangkan kakaknya yang saat
ini sedang sakit.” Lalu ada jeda kemudian ia bicara lagi “Ga mungkin aku suka
sama dia, meskipun dia teman sekolahku dulu tapi aku ga pernah punya perasaan
apappun sama dia…” Aku pergi dari tempat itu aku tak ingin lagi mendengar lebih
jauh, sakit rasanya bahwa selama ini aku hanya berharap pada cinta semu, cinta
yang memang tidak pernah ada untukku.
Aku terus berjalan dibawah gerimis
ini, dinginnya tidak jua membalut pedih yang kurasakan. Biarlah air mata ini
jatuh tersamarkan gerimis yang mengguyur. Aku tahu dan menyadari bahwa cinta
tidak harus memiliki. Meski terluka hati ini, setidaknya aku tahu bahwa Azka
tidak pernah menyimpan hatinya untukku. Melalui gerimis ini aku membisikan
perasaanku untuknya “Aku turut bahagia untuknya, meski bahagianya tidak
bersamaku.”
Aku tidak pernah menyesali untuk mencintainya, karena ia pun pernah memberikan setitik warna dalam perjalanan hidupku meski pada nyatanya ia tidak pernah membalas rasaku.
Malam kian sunyi, namun langit masih tetap gerimis seperti gerimis di hatiku kini. Syahdu berselimutkan kelam malam, aroma tanah yang membasahi bumi memberikan nuansa kepedihan yang semakin menyayat. Aku tetap mencoba menutup hari dengan senyuman.
#
TAMAT #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar