Laman

Sabtu, 07 Desember 2013

..::.. Gerimis Di Hatiku ..::..

            Petang ini, awan kelabu menggelayut di cakrawala angkasa. Burung-burung berterbangan menyisir senja. Langit terlilhat mendung namun sepertinya hujan enggan untuk turun. Aku tengah sibuk merapikan kertas-kertas yang masih berserakan di meja kerjaku, aku khawatir hujan turun karena aku tidak membawa payung.
           “Hari ini ga lembur Salwa?” Tanya Desi rekan kerja ku
            “Ga…aku harus segera pulang..!! meeting besok pagi jangan lupa ya dipersiapkan proposalnya. Aku duluan” aku segera berpamitan kepada Desi
            “Ok..hati-hati ya” dan aku balas dengan lambaian tangan segera berlari ke pintu lift yang hendak tertutup
            Di halte, ternyata rintik-rintik gerimis turun membasahi bumi kota metropolitan ini, dan suasana seperti ini selalu membuat hatiku pun terasa basah akan suasana kehampaannya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_zovc-EB37dE-Cs9cMAqYnLpk7oVV2rIV_xe5lAOL3472KG4guSxs1GaYaPUueaKcqav5WciKTYCJg2cL_HwyF53qAwEe-6zQAPJXXqMul63hZSSxDcNKdF7v9W4zm4DSv6H9ngB-KTI/s1600/kartun-korea2.jpg            Setibanya di rumah aku segera berganti pakaian yang kuyup oleh hujan. Kurebahkan diri yang terasa lelah, memandang langit-langit kamar yang bersinarkan temaram lampu yang agak meredup. Aku teringat sesuatu, untuk mempersiapkan dokumen yang sekiranya diperlukan untuk meeting ke esokan hari.
            Di tengah pencarian ‘bruuuuk’ sebuah buku usang dan agak berdebu terjatuh di lantai. Segera aku ambil yang ternyata adalah buku tahunan sekolah. Ku sapu debu yang menyelimuti, kubuka halaman per halaman dan pandanganku terhenti pada sebuah gambar seseorang dimana begitu dalam kusimpan rapi rasa dihati ini untuknya.      
            Saat itu, aku masih berseragam putih – biru, aku yang memang pendiam dan pemalu tidak pandai bergaul dan membaur bersama teman-teman lainnya. Hingga kemudian ia datang membawa setitik warna bagi hidupku.
            Azka hadir dengan kenakalan khas anak-anak pada umumnya. Pernah suatu kali ia membuat aku menangis karena menempelkan permen karet di kursiku sehingga rok yang ku kenakan pun kotor dan meninggalkan noda yang tidak bisa hilang.
            Namun, disisi kenakalannya pada dasarnya aku tahu ia anak yang baik, ia bisa membuat aku tersenyum dan merasa diterima oleh teman lainnya. Benih-benih perasaan itu mulai tumbuh dan aku mulai merasa kehilangan saat ia tidak ada.
            “Salwa…” panggil Azka menghampiriku saat pulang sekolah
            Hatiku berdetak tak karuan, aku berusaha untuk bersikap sebagaimana biasanya “Kenapa ?” tanyaku
            “Pinjem catetan sejarah yang tadi dong..”
            “Lho..emangnya kamu ga nyatet ?”
            “tadi teman-teman dibelakang ngajakin bercanda, jadi ketinggalan materi nya..pinjem ya..kamu kan udah pinter ini” Azka terus merajuk
            Aku segera mengeluarkan buku catatan sejarah yang dimintanya “Besok dikembalikan ya..” Aku mengingatkan
            “Siap Boss..” Azka memberi hormat dan segera berlari meninggalkan aku. Selepas kepergiannya aku hanya mengulum senyum
            Selang setahun  kemudian saat kenaikan kelas ternyata ada rolling antar kelas dimana akhirnya kelasku dan Azka tidak lagi sama. Lambat laun sikap Azka mulai berubah. Ia tidak seramah dulu, ia semakin menjauh bahkan selalu memutar arah bila berhadapan denganku. Ingin bertanya tapi ia selalu menghindar. Jujur aku sedih dengan perubahannya saat ini.
            Dari balkon lantai 2 depan kelas, aku hanya bisa menatapnya yang bersenda gurau bersama kawan-kawan lainnya serta menyaksikan ia yang lihai menggiring bola di tengah lapangan.
            “Masih nyimpen perasaan untuk dia?? Kalau suka mestinya di sampaikan langsung neng” suara seseorang mengagetkanku
            “Indri..bikin kaget saja. Nyimpen perasaan gimana maksudnya??” aku bertanya heran
            “Udah hampir kesebar satu sekolah kali. Kalau kamu itu suka sama Azka..iya kan?”
            Terang saja aku terkejut, selama ini aku tidak pernah menceritakannya pada siapapun
            “kamu menempelkan puisi di mading itu untuk Azka kan?”
            “Puisi ??”
            Aku teringat akan lembaran puisiku yang hilang dari catatan harianku, mungkinkah puisi itu. Aku segera berlari ke mading
            “Oh..Tuhan..bagaimana bisa catatan ini ada di mading?? Siapa yang sudah lancang meletakannya di sini tanpa seizinku” aku melepas lembaran itu, mataku berkaca “inikah sebab Azka menjauh dari aku”
            Aku menutup kembali buku tahunan itu, hanya mengingatkanku pada rasa sakit rasa yang terpendam. Karena pada dasarnya rasa itu tidak benar-benar terungkap dan ia “Bintang hatiku” telah menjauh dariku.
            Ke esokannya aku menjalankan hari sebagaimana biasa, waktu demi waktu bergulir meninggalkan setiap jejak kenangan.
            Saat makan siang aku merasakan sakit yang luar biasa dan membuat tubuhku terasa lemas. Tersadar aku ternyata sudah berada di ruang dan aroma obat-obatan menyengat. Di samping ranjang ku sudah ada Desi menemani.
            “Kenapa aku ada di sini ?” Tanyaku kebingungan
            “Tadi kamu pingsan saat kita makan siang dan dokter sudah memeriksanya. Kamu harus di opname beberapa hari” Desi memberi keterangan
            “di opname?? Aku merasa baik-baik saja…memangnya kata dokter apa??” tanyaku
            “saat ini Iqbal adikmu sedang berbicara sama dokter, sebentar lagi ia juga datang” jawab Desi
            Tak lama kemudian pintu ruangan terbuka, Iqbal datang dengan membawa beberapa berkas
            “Apa kata dokter?”
            “Kakak mesti di opname, prediksi dokter ada gangguan dalam paru-paru. Besok pagi kakak harus di rongten untuk observasi lebih lanjutnya” Iqbal menerangkan
            “Ya sudah, kalau begitu aku pamit ya…cepet sembuh ya. Aku butuh tim seperti kamu di kantor” Desi berpamitan
            “terima kasih ya Des..”
            Setelah pemeriksaan laboratorium, terdeteksi bahwa aku terkena infeksi paru-paru dan menurut dokter sudah cukup akut. Butuh perawatan dan penanganan lebih lanjut, namun aku lebih memilih untuk berobat jalan dibandingkan harus lebih lama berada di ruang sunyi rumah sakit.
            Hari ini, awal februari tepat moment spesialku bahkan aku lupa karena sibuknya  bekerja namun Desi dan beberapa rekan kerja lain memberikan surprise kecil di hari jadiku yang seperempat abad kini.
            “Selamat ulang tahun ya say..” Desi memberikan selamat “Semoga cepet ketemu jodohnya” ia menggoda
            “Terima kasih say..” aku membalas semua ucapan yang mengalir padaku hari itu
            Bahagia rasanya, saat berada di tengah orang-orang yang perduli dan memperhatikan kita. Terlebih di hari lahirku langkah awal menuju masa yang baru. Tak lama setelahnya aku kembali tenggelam dalam runtinitas pekerjaan. Di tengah kesibukan itu tiba-tiba ponselku berbunyi, ada sms dari Iqbal. Sepulang kerja ini ia memintaku untuk menemuinya di sebuah warung makan steak tempat favoritenya. Aku tidak berfikir sama sekali akan rencananya, perkiraanku semula adalah biasanya ia hanya meminta untuk di traktir makan.
            Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan angka 8, aku sudah menunggu Iqbal hampir satu jam-an. Sudah di hubungi beberapa kali namun ponselnya tidak aktif, terbersit kekhawatiran terjadi sesuatu pada adikku. Saat aku hendak beranjak dari tempat duduk tiba-tiba ada seseorang dengan membawa sebuah kue tart dan lilin di atasnya menyanyikan lagu ulang tuhun untukku.
            “Happy birthday to you..happy birthday..happy birthday..happy birthday to you” Suara seseorang menyanyikan lagu ulang tahun untukku
            Secara samar aku tidak mengenalinya, Aku mengira sebelumnya bahwa itu adalah Iqbal, namun ketika aku berpaling dan mempertegas penglihatan aku tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutanku. Seseorang yang setelah 10 tahun tidak pernah bertemu, tidak lagi bertegur sapa namun menempati ruang rindu dalam hati yang tidak pernah terganti.
            Mungkin terdengar konyol selama lebih dari 10 tahun rasa dalam hatiku tetap tersimpan rapi, meski beberapa cinta lain mencoba menghampiri namun tetap tidak bisa menggeser kedudukannya di hatiku. Aku tetap menyimpan rapi untuknya, sebuah nama yang tidak pernah terganti dan telah bersemayam lama dalam kalbu.
            Dalam kesunyian, kerap kali rindu itu datang. Namun aku takut, aku takut menghubunginya kembali. Ia menjauh dari ku begitu saja tanpa aku tahu kesalahan fatal apa yang telah ku lakukan. Dan kini setelah ribuan detik berlalu ia berada di hadapanku dengan membawa sebuah kue tart dan menyanyikan lagu untukku.
            “Salwa selamat ulang tahun ya…” Azka mengulurkan tangannya
            Aku terdiam karena keterkejutan yang amat sangat, bahkan aku sempat berfikir ini hanyalah mimpi.
            Azka meletakan kue tart yang di pegangnya di atas meja
            “Apa kabar Salwa ?” tanyanya membuka percakapan
            “Baik…” aku masih terasa canggung mencoba menata hatiku “kamu apa kabar?” aku balik bertanya
            “Aku juga baik” ia tersenyum
            “Ehmm..hmm..bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini??”
            “Tahu dari Iqbal..”
            “Terus sekarang Iqbal nya dimana??”
            “tadi dia memintaku untuk langsung ke sini menemui kamu..dia akan menyusul katanya” Jawabnya
            “oh..ya, kamu masih menggeluti hoby mu??” tanyaku
            “Sampai saat ini masih, hampir masuk klub nasional tapi di seleksi akhir gagal karena suatu hal. Sekarang hanya sering bermain futsal aja bersama teman-teman” jawabnya
            Dan ceritapun mengalir, mungkin lebih banyak dia yang bertanya padaku karena aku benar-benar tidak bisa mengendalikan detak jantung yang berdetak tidak karuan. Di saat aku hendak bertanya perihal masa lalu, masa dimana keakraban yang tiba-tiba kandas, ponsel Azka berbunyi.
            “Maaf..aku angkat telepon dulu” Azka meminta izin mengangkat telepon dan menjauh dariku dan aku balas dengan senyuman serta sebuah anggukan.
            Lama Azka belum juga kembali, aku pun mencoba menghubungi Iqbal namun ponselnya justru belum juga aktif. Sambil menunggu Azka kembali aku hendak ke toilet dan saat di sebuah sudut ruangan aku melihat punggung Azka, aku mencoba menghampirinya tapi langkahku terhenti saat aku dengar perbincangannya di telepon. Aku mencuri dengar pembicaraan tersebut.
            “Kamu Jangan ngambek gitu dong Beib. Aku menemui Salwa karena permintaan Iqbal adiknya yang tidak lain adik kelasku semasa SMA dulu. Aku ga enak untuk nolak permintaannya. Iqbal  Cuma ingin menyenangkan kakaknya yang saat ini sedang sakit.” Lalu ada jeda kemudian ia bicara lagi “Ga mungkin aku suka sama dia, meskipun dia teman sekolahku dulu tapi aku ga pernah punya perasaan apappun sama dia…” Aku pergi dari tempat itu aku tak ingin lagi mendengar lebih jauh, sakit rasanya bahwa selama ini aku hanya berharap pada cinta semu, cinta yang memang tidak pernah ada untukku.
            Aku terus berjalan dibawah gerimis ini, dinginnya tidak jua membalut pedih yang kurasakan. Biarlah air mata ini jatuh tersamarkan gerimis yang mengguyur. Aku tahu dan menyadari bahwa cinta tidak harus memiliki. Meski terluka hati ini, setidaknya aku tahu bahwa Azka tidak pernah menyimpan hatinya untukku. Melalui gerimis ini aku membisikan perasaanku untuknya “Aku turut bahagia untuknya, meski bahagianya tidak bersamaku.”
             Aku tidak pernah menyesali untuk mencintainya, karena ia pun pernah memberikan  setitik warna dalam perjalanan hidupku meski pada nyatanya ia tidak pernah membalas rasaku.

         Malam kian sunyi, namun langit masih tetap gerimis seperti gerimis di hatiku kini. Syahdu berselimutkan kelam malam, aroma tanah yang membasahi bumi memberikan nuansa kepedihan yang semakin menyayat. Aku tetap mencoba menutup hari dengan senyuman.

# TAMAT #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar