Gerimis, sayup rintik air membasahi
bumi. Pagi tak secerah biasanya mungkin memang karena telah masuk musim
penghujan. Datang tanpa mengenal waktu. Akhir pekan kelabu, mendung menggelayut
di atas langit. Aku menatap sebuah undangan pernikahan, hatiku ragu akankah
memenuhi undangan itu, jika memaksakan datang sanggupkah aku menyaksikan dua
mempelai yang berbahagia itu. Mungkin aku terlalu naïf, jahat jika aku sampai
berharap untuk tiadanya kebahagiaan bagi mereka karena tak lain mempelai pria
itu adalah seseorang yang begitu aku cintai tahunan lamanya, cinta pertamaku.
Ia tahu akan perasaanku terhadapnya
namun aku sadar siapalah diriku, cinta yang ku punya tak pernah terbalas
darinya. Aku dan dia memang pernah menempuh jenjang pendidikan yang sama di
bangku SMP, namun sejak ia tahu perasaanku terhadapnya pertemanan pun mulai
merenggang, ia menjauh. Jujur aku sedih akan perubahan sikapnya tersebut,
tetapi aku pun tak dapat berbuat banyak jika itu membuatnya lebih bahagia.
“Kak…” Andini adikku masuk membuka
pintu kamarku secara perlahan
Ia segera mendekatiku yang sedang
duduk termangu menatap kosong pada selembar undangan di tanganku “Jika kakak ga
sanggup, ga usah memaksakan diri untuk datang ke resepsi pernikahan itu” ucap
Andini
Aku menoleh padanya, dengan genangan
air mata yang aku usahakan untuk tidak jatuh dan menangis dihadapan adikku.
“Kakak akan datang, mereka sudah
memasukan kakak dalam daftar undangan dan kakak harus menghargainya. Sebagai
teman, kamu temani kakak ya..”pintaku
Dengan ragu, adikku menggangguk
mengiyakan.
Di sebuah resepsi mewah bernuansa
ungu dan putih ini, dua sejoli itu sangat bahagia, tak hentinya senyuman
terlukis di wajah mereka. Para tamu datang silih berganti memberi ucapan
selamat dan restu sedangkan aku masih
mematung di tengah aula.
Dalam hati aku berusaha menguatkan diri
untuk merelakan dia karena aku bukanlah siapa-siapa untuknya. Dengan agak
sedikit ragu aku melangkah ke tempat mereka bersanding, dan memberikan ucapan
selamat. Dengan perasaan yang bercampur aduk akhirnya aku berhasil melewati
pelaminan dua insane manusia itu, mereka sungguh serasi.
Aku hanyalah seorang gadis
sederhana, kerapkali aku lebih suka menghabiskan waktu dengan kesendirian, dan
membaca adalah satu wadah bagiku mengusir rasa sepi keseharianku. Mereka
mungkin menilaiku kurang pergaulan atau menyebutnya ‘cupu’ begitulah istilah
yang sering ku dengar. Sejak dahulu aku memang seorang pendiam, itulah kenapa
teman-temanku mungkin tidak terlalu banyak apalagi dengan makhluk yang bernama
laki-laki, bisa dalam hitungan jari mungkin. Namun aku tetaplah manusia normal
pada umumnya, akupun pernah merasakan jatuh cinta. Tapi ya itu hanya mampu aku
memendamnya.
Usiaku kini sudah hampir menginjak
seperempat abad, bukan waktunya lagi untuk bermain-main dan berpetualang cinta.
Aku juga ingin seperti kawan-kawan lainnya merengkuh indahnya suci pernikahan,
menunaikan sunah Rasulullah SAW.
Sifatku yang memang pendiam
membuatku tidak terlalu banyak mengenal lawan jenis dengan lebih dekat atau
bahkan aku mungkin bisa dikatakan tidak pernah mencicipi istilah pacaran dalam
daftar panjang perjalanan hidupku.
Rasa iri pasti ada, tapi aku coba
bersandar dan meyakinkan hati bahwa dalam agama yang kuyakini memang tidak ada
istilah tersebut. Dengan saran seorang teman aku memberanikan diri memasukan
biodataku untuk berikhtiar mencari pasangan hidup yang baik, ya dengan proses
ta’aruf.
Sebagaimana beberapa kawanku yang
lain pun telah membina biduk rumah tangga dengan jalan ini, dan mereka terlihat
harmonis. Selang beberapa hari setelahnya, aku menjalani proses ta’aruf dengan
seseorang, saling mengenal terlebih dahulu. Namun aku tahu bahwa semua yang
kita inginkan kerapkali tidak menjadi nyata.
Beberapa minggu setelahnya ikhtiarku
tidak berjalan mulus hingga ke jenjang yang serius karena suatu hal dan sebab. Aku
mencoba untuk tidak menyerah, dan terpuruk terlalu dalam. Tetap menjalani hari
sebagaimana biasanya, ya walaupun tekadang perasaan gundah itu kerap kali
hadir.
Hingga suatu hari seorang senior di
bangku kuliahku dulu, menyatakan suatu hal yang membuatku cukup terkejut
“Adinda kita sudah lama kenal dan
cukup dekat, apakah kamu keberatan jika hubungan ini lebih dari sekedar
pertemanan?” tanyanya suatu hari saat kami bertemu di gelanggang olahraga
sebagaimana biasanya kami bertemu
Aku yang sedang meneguk air mineral
hampir tersedak mendengarnya, terang saja bagaimana aku tidak terkejut.
Sepengetahuanku seniorku ini sudah punya kekasih dan akan bertunangan tapi
entah kapan aku sendiri pun tidak tahu.
“Kakak bilang apa tadi ? maksudnya
apa ya?” tanyaku yang masih agak heran
“Aku rasa kita sudah cukup dewasa
dan aku rasa kamu paham betul maksud aku”
“Pacaran maksudnya ??” tanyaku
memastikan
Masih agak canggung ia menganggukan
kepalanya
Aku hanya tersenyum tanpa memberi
jawaban “kakak pasti bercanda” aku melanjutkan kembali lari
“Aku serius..tolong berhenti dulu”
pintanya
Aku mengehentikan langkah “kakak mau
jawaban apa dari aku?? Kakak pun tahu aku, yang aku cari saat ini bukan pacar
tapi calon pendamping hidup. Karena bukan saatnya lagi untuk bermain-main, masa
itu sudah lama lewat. Keluargapun sudah menanyakan hal itu padaku”
“Aku ingin lebih kenal kamu, lebih
dekat dengan kamu bahkan jika memang kita berjodoh aku ingin menikahimu”
ucapannya kali ini benar-benar membuatku terdiam tak mampu berkata
“Bagimana dengan caln tunangan kakak
itu??”
“Sudah berkahir..dia mengkhianati
aku” jawabanya lesu, ia terlihat sedih
“Sabar ya kak..” ucapku iba
Sejak saat itu komunikasi kami lebih
intens, kerapkali ia pun singgah dan datang ke rumah hanya sekedar berbincang
bersama aku dan keluarga lainnya. Bahkan adik akupun sudah mengenal baik dan
ayah menyukai sikapnya yang memang sopan, ia pandai mengambil hati keluarga.
Belum lama berjalan kedekatan kami,
badai sudah menghadang. Aku mulai mencurigai sikapnya yang terkadang berubah akhir-akhir
ini.
“Terakhir belakangan ini kenapa
kakak sulit sekali dihubungi??” tanyaku
“Maaf Dinda..kerjaan lagi banyak.
Aku benar-benar di kejar Deadline”
“Sebegitu sibuknya hingga memberi
kabarpun tak sempat?”
“Aku minta maaf. Lain kali aku tidak
akan mengulanginya lagi”
Handphonenya tiba-tiba berbunyi
namun ia segera mematikannya
“Kenapa ga di angkat?”
“Nomor ga dikenal..” jawabnya
canggung “oh,,ya..aku mau ke toilet dulu ya..” Ia pun segera berlalu
Sikapnya kali ini benar-benar aneh
dan membuatku bingung tentunya. Hatiku
mulai ragu ‘seriuskah ia menjalani hubungan ini denganku?’
Tak perlu menunggu lama beberapa
hari setelahnya, terbuka sudah tabir keraguan itu. Ia tidak sebaik itu
terhadapku. Di belakangku ia membina hubungan kembali dengan orang lain.
“Aku minta maaf tidak bisa
melanjutkan hubungan kita. Terlalu banyak perbedaan diantara kita, lagipula aku
belum siap jika harus menikah dalam waktu dekat ini.” Ucapnya
“bukan karena ada orang lain yang
mengisi hati kakak??” aku bertanya sinis, aku tidak bisa menyembunyikan lagi.
Jelas saja hatiku hancur, kecewa. Setelah ia berhasil meyakinkanku akan
janji-janji manisnya ternyata palsu belaka.
“Iya aku minta maaf telah menduakan
kamu selama ini”
Mataku sudah berair, aku coba
menahannya untuk tidak terjatuh. Aku tidak ingin ia melihat kekalahanku
“Baik..jika itu membuat kakak
bahagia” aku bergegas pergi meninggalkannya
Ia menahan tanganku “Kamu mau kan
memaafkan aku ?”
Aku berpaling padanya, memecahkan
gelas yang berada di meja. Kontan saja perilaku itu mengundang perhatian banyak
orang yang sedang makan di tempatku saat itu.
“Dinda..” Ia menahan marah dan malu
cukup telihat dari wajahnya
“sekarang coba kakak bilang maaf ke
gelas pecah itu. Lalu apa ia akan kembali utuh seperti semula ? Seperti itu
yang aku rasakan..sekarang tolong biarkan aku sendiri dahulu. Lepaskan
tanganku” pintaku, aku segera berjalan memalingkan wajah darinya. Ku hapus air
mata yang mengalir deras.
Kini, enam bulan berlalu sudah sejak
kejadian itu. Patah hati untuk kesekian kalinya pun ku alami, namun aku tetap
percaya bahwa telah ada seseorang yang Tuhan ciptakan untukku. Aku tidak berhak
menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi padaku kini, semua sisi hidup yang
kujalani selalu memberi hikmah tersembunyi di akhirnya.
Pagi ini aku terbangun sebagaimana
bisanya melakukan runtinitas monoton yang lazim dilakukan. Entah ada yang
mengganggu perasaanku terakhir belakangan ini, sudah kesekian kalinya aku
terbangun dengan mimpi yang hampir sama yakni hadirnya seseorang di masa
laluku. Seseorang yang pernah menghiasi hariku dengan kebersamaan, namun
setelah lulus sekolah dulu kami terpisah dan hilang kontak.
Kadang aku bertanya apakah ini
pertanda atau jawaban dari doa-doaku selama ini ? tapi aku mencoba untuk
meyakinkan hati agar tidak terlalu banyak berharap akan sesuatu yang tidak
pasti.
Ketika hari menjelang senja, aku
menatap keluar jendela meja kerjaku, matahari pun enggan berpamitan kembali
peraduannya tertutup langit yang kelabu.
“Sepertinya hujan akan turun deras
lagi hari ini” gumamku
“kenapa Dinda? galau sekali kelihatannya kau” Tanya
Renita temanku yang berdarah medan itu
“iya..alamat bakalan kehujanan lagi
ini” aku berkata lesu
“Ya..sudah kau tunggu saja sampai
hujannya reda atau mau pulang bareng aku??”tawarnya
“Oh..ga usah. Kita kan berlawan
arah, lagi pula kamu dijemput suami kan. Ga usah nanti malah merepotkan” ucapku
sungkan “aku juga sepertinya lembur, kerjaan masih banyak yang belum
terselesaikan” lanjutku
Tak lama setelahnya hujan
benar-benar turun dengan deras, disertai angin kencang merata hampir di seluruh
ibu kota dan aku tertahan di kantor ini dengan beberapa staff lain yang
sepertinya memang enggan merentas jalan yang diguyur hujan.
Malam kian terus merangkak, aku baru
menyelesaikan tugas-tugasku. Jam dinding kantor sudah mengarah ke angka 9,
rupanya aku benar-benra tenggelam dengan pekerjaan hingga tak mengenal waktu,
aku segera merapikan meja kerjaku dan berpamit pula dengan beberapa staff yang
masih bertahan.
Sudah hampir setengah jam berlalu,
aku menunggu di shalter transjakarta ini namun sepertinya tidak ada tanda-tanda
bus akan lewat. Karena lelah berdiri aku pun duduk di kursi yang ada di disana,
walaupun agak risih sebelumnya karena ada seseorang yang sedari tadi
memperhatikanku. Tiba-tiba saja ia mendekat dan menyapa
“Maaf..kamu Adinda ya??” Tanyanya
ragu
“iya” jawabaku sekenanya dengan
sikap waspada tentunya. Karena di Ibu kota tindak tanduk kejahatan kerap
terjadi.Dengan kondisi malam dan agak sepi rasa khawatir tentu menghinggapi
diri.
“Kamu masih inget sama aku
ga?”tanyanya lagi
Aku mulai memperhatikannya lebih
seksama, ya pandangan mata itu aku mengenalnya
“Fikri ya ?” tanyaku agak ragu
“Akhirnya, kamu masih mengenali aku.
Apa kabar ?” ia sumringah
Aku menjadi gugup seketika, ia
memang telah jauh berbeda dari terakhir kami berjumpa. Pertemuan kali ini
semakin menimbulkan tanda tanya besar di dalam hatiku.
“Aku baik…” jawabku kemudian
Kami saling berbagi cerita,
bernoslagia pada kisah lama. Entah perasaan apa yang kini menghampiri, tapi
satu yang pasti aku bahagia berjumpa dengannya kembali. Tuhan, inikah jawaban
doa dan sujud panjangku selama ini.
Yang tidak pernah ku duga orang dari
masa lalu itu kembali hadir, mengusik kembali ketenangan dan gejolak
perasaanku. Tuhan, jatuhkanlah hatiku pada orang yang tepat, orang yang memang Kau
pilihkan untukku. Seseorang yang akan mengikrarkan janji sucinya untuk
menjalankan syariat agama-MU. Amiiiin
# TAMAT #
3 komentar:
Terima Kash Mba utk apresiasinya..^_^
jadi semakin semangat utk menghasilkan karya lainnya nih :)
wah, seneng nulis cerpen ya mbak .. ?
mantap deh ..
Seneng banget mas..Alhamdulillah beberapa ada yg sudah mendapat apresiasi :)
Posting Komentar