Laman

Senin, 03 Maret 2014

Ketika Penantian Ingin Bermuara

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicg12MR5lBQD4bkl09TMhrs2HJZn9-4iX_0mgAHHc3OZgRi5BsO61_WXmf1xIdYtjLCecI0P0XsY53PgjUls7GqrtEYvSDZCaKlLciPTxSHTHTvAfb9fzRu1FDPYbyh3yrHE0q_rHInZcK/s1600/muslimah+kartun+7.jpg
         Gerimis, sayup rintik air membasahi bumi. Pagi tak secerah biasanya mungkin memang karena telah masuk musim penghujan. Datang tanpa mengenal waktu. Akhir pekan kelabu, mendung menggelayut di atas langit. Aku menatap sebuah undangan pernikahan, hatiku ragu akankah memenuhi undangan itu, jika memaksakan datang sanggupkah aku menyaksikan dua mempelai yang berbahagia itu. Mungkin aku terlalu naïf, jahat jika aku sampai berharap untuk tiadanya kebahagiaan bagi mereka karena tak lain mempelai pria itu adalah seseorang yang begitu aku cintai tahunan lamanya, cinta pertamaku.
    Ia tahu akan perasaanku terhadapnya namun aku sadar siapalah diriku, cinta yang ku punya tak pernah terbalas darinya. Aku dan dia memang pernah menempuh jenjang pendidikan yang sama di bangku SMP, namun sejak ia tahu perasaanku terhadapnya pertemanan pun mulai merenggang, ia menjauh. Jujur aku sedih akan perubahan sikapnya tersebut, tetapi aku pun tak dapat berbuat banyak jika itu membuatnya lebih bahagia.
            “Kak…” Andini adikku masuk membuka pintu kamarku secara perlahan
            Ia segera mendekatiku yang sedang duduk termangu menatap kosong pada selembar undangan di tanganku “Jika kakak ga sanggup, ga usah memaksakan diri untuk datang ke resepsi pernikahan itu” ucap Andini
            Aku menoleh padanya, dengan genangan air mata yang aku usahakan untuk tidak jatuh dan menangis dihadapan adikku.
            “Kakak akan datang, mereka sudah memasukan kakak dalam daftar undangan dan kakak harus menghargainya. Sebagai teman, kamu temani kakak ya..”pintaku
            Dengan ragu, adikku menggangguk mengiyakan.
            Di sebuah resepsi mewah bernuansa ungu dan putih ini, dua sejoli itu sangat bahagia, tak hentinya senyuman terlukis di wajah mereka. Para tamu datang silih berganti memberi ucapan selamat dan restu  sedangkan aku masih mematung di tengah aula.
            Dalam hati aku berusaha menguatkan diri untuk merelakan dia karena aku bukanlah siapa-siapa untuknya. Dengan agak sedikit ragu aku melangkah ke tempat mereka bersanding, dan memberikan ucapan selamat. Dengan perasaan yang bercampur aduk akhirnya aku berhasil melewati pelaminan dua insane manusia itu, mereka sungguh serasi.
            Aku hanyalah seorang gadis sederhana, kerapkali aku lebih suka menghabiskan waktu dengan kesendirian, dan membaca adalah satu wadah bagiku mengusir rasa sepi keseharianku. Mereka mungkin menilaiku kurang pergaulan atau menyebutnya ‘cupu’ begitulah istilah yang sering ku dengar. Sejak dahulu aku memang seorang pendiam, itulah kenapa teman-temanku mungkin tidak terlalu banyak apalagi dengan makhluk yang bernama laki-laki, bisa dalam hitungan jari mungkin. Namun aku tetaplah manusia normal pada umumnya, akupun pernah merasakan jatuh cinta. Tapi ya itu hanya mampu aku memendamnya.
            Usiaku kini sudah hampir menginjak seperempat abad, bukan waktunya lagi untuk bermain-main dan berpetualang cinta. Aku juga ingin seperti kawan-kawan lainnya merengkuh indahnya suci pernikahan, menunaikan sunah Rasulullah SAW.
            Sifatku yang memang pendiam membuatku tidak terlalu banyak mengenal lawan jenis dengan lebih dekat atau bahkan aku mungkin bisa dikatakan tidak pernah mencicipi istilah pacaran dalam daftar panjang perjalanan hidupku.
            Rasa iri pasti ada, tapi aku coba bersandar dan meyakinkan hati bahwa dalam agama yang kuyakini memang tidak ada istilah tersebut. Dengan saran seorang teman aku memberanikan diri memasukan biodataku untuk berikhtiar mencari pasangan hidup yang baik, ya dengan proses ta’aruf.
            Sebagaimana beberapa kawanku yang lain pun telah membina biduk rumah tangga dengan jalan ini, dan mereka terlihat harmonis. Selang beberapa hari setelahnya, aku menjalani proses ta’aruf dengan seseorang, saling mengenal terlebih dahulu. Namun aku tahu bahwa semua yang kita inginkan kerapkali tidak menjadi nyata.
            Beberapa minggu setelahnya ikhtiarku tidak berjalan mulus hingga ke jenjang yang serius karena suatu hal dan sebab. Aku mencoba untuk tidak menyerah, dan terpuruk terlalu dalam. Tetap menjalani hari sebagaimana biasanya, ya walaupun tekadang perasaan gundah itu kerap kali hadir.
            Hingga suatu hari seorang senior di bangku kuliahku dulu, menyatakan suatu hal yang membuatku cukup terkejut
            “Adinda kita sudah lama kenal dan cukup dekat, apakah kamu keberatan jika hubungan ini lebih dari sekedar pertemanan?” tanyanya suatu hari saat kami bertemu di gelanggang olahraga sebagaimana biasanya kami bertemu
            Aku yang sedang meneguk air mineral hampir tersedak mendengarnya, terang saja bagaimana aku tidak terkejut. Sepengetahuanku seniorku ini sudah punya kekasih dan akan bertunangan tapi entah kapan aku sendiri pun tidak tahu.
            “Kakak bilang apa tadi ? maksudnya apa ya?” tanyaku yang masih agak heran
            “Aku rasa kita sudah cukup dewasa dan aku rasa kamu paham betul maksud aku”
            “Pacaran maksudnya ??” tanyaku memastikan
            Masih agak canggung ia menganggukan kepalanya
            Aku hanya tersenyum tanpa memberi jawaban “kakak pasti bercanda” aku melanjutkan kembali lari
            “Aku serius..tolong berhenti dulu” pintanya
            Aku mengehentikan langkah “kakak mau jawaban apa dari aku?? Kakak pun tahu aku, yang aku cari saat ini bukan pacar tapi calon pendamping hidup. Karena bukan saatnya lagi untuk bermain-main, masa itu sudah lama lewat. Keluargapun sudah menanyakan hal itu padaku”
            “Aku ingin lebih kenal kamu, lebih dekat dengan kamu bahkan jika memang kita berjodoh aku ingin menikahimu” ucapannya kali ini benar-benar membuatku terdiam tak mampu berkata
            “Bagimana dengan caln tunangan kakak itu??”
            “Sudah berkahir..dia mengkhianati aku” jawabanya lesu, ia terlihat sedih
            “Sabar ya kak..” ucapku iba
            Sejak saat itu komunikasi kami lebih intens, kerapkali ia pun singgah dan datang ke rumah hanya sekedar berbincang bersama aku dan keluarga lainnya. Bahkan adik akupun sudah mengenal baik dan ayah menyukai sikapnya yang memang sopan, ia pandai mengambil hati keluarga.
            Belum lama berjalan kedekatan kami, badai sudah menghadang. Aku mulai mencurigai sikapnya yang terkadang berubah akhir-akhir ini.
            “Terakhir belakangan ini kenapa kakak sulit sekali dihubungi??” tanyaku
            “Maaf Dinda..kerjaan lagi banyak. Aku benar-benar di kejar Deadline”
            “Sebegitu sibuknya hingga memberi kabarpun tak sempat?”
            “Aku minta maaf. Lain kali aku tidak akan mengulanginya lagi”
            Handphonenya tiba-tiba berbunyi namun ia segera mematikannya
            “Kenapa ga di angkat?”
            “Nomor ga dikenal..” jawabnya canggung “oh,,ya..aku mau ke toilet dulu ya..” Ia pun segera berlalu
            Sikapnya kali ini benar-benar aneh dan membuatku bingung tentunya. Hatiku  mulai ragu ‘seriuskah ia menjalani hubungan ini denganku?’
            Tak perlu menunggu lama beberapa hari setelahnya, terbuka sudah tabir keraguan itu. Ia tidak sebaik itu terhadapku. Di belakangku ia membina hubungan kembali dengan orang lain.
            “Aku minta maaf tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Terlalu banyak perbedaan diantara kita, lagipula aku belum siap jika harus menikah dalam waktu dekat ini.” Ucapnya
            “bukan karena ada orang lain yang mengisi hati kakak??” aku bertanya sinis, aku tidak bisa menyembunyikan lagi. Jelas saja hatiku hancur, kecewa. Setelah ia berhasil meyakinkanku akan janji-janji manisnya ternyata palsu belaka.
            “Iya aku minta maaf telah menduakan kamu selama ini”
            Mataku sudah berair, aku coba menahannya untuk tidak terjatuh. Aku tidak ingin ia melihat kekalahanku
            “Baik..jika itu membuat kakak bahagia” aku bergegas pergi meninggalkannya
            Ia menahan tanganku “Kamu mau kan memaafkan aku ?”
            Aku berpaling padanya, memecahkan gelas yang berada di meja. Kontan saja perilaku itu mengundang perhatian banyak orang yang sedang makan di tempatku saat itu.
            “Dinda..” Ia menahan marah dan malu cukup telihat dari wajahnya
            “sekarang coba kakak bilang maaf ke gelas pecah itu. Lalu apa ia akan kembali utuh seperti semula ? Seperti itu yang aku rasakan..sekarang tolong biarkan aku sendiri dahulu. Lepaskan tanganku” pintaku, aku segera berjalan memalingkan wajah darinya. Ku hapus air mata yang mengalir deras.
            Kini, enam bulan berlalu sudah sejak kejadian itu. Patah hati untuk kesekian kalinya pun ku alami, namun aku tetap percaya bahwa telah ada seseorang yang Tuhan ciptakan untukku. Aku tidak berhak menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi padaku kini, semua sisi hidup yang kujalani selalu memberi hikmah tersembunyi di akhirnya.
            Pagi ini aku terbangun sebagaimana bisanya melakukan runtinitas monoton yang lazim dilakukan. Entah ada yang mengganggu perasaanku terakhir belakangan ini, sudah kesekian kalinya aku terbangun dengan mimpi yang hampir sama yakni hadirnya seseorang di masa laluku. Seseorang yang pernah menghiasi hariku dengan kebersamaan, namun setelah lulus sekolah dulu kami terpisah dan hilang kontak.
            Kadang aku bertanya apakah ini pertanda atau jawaban dari doa-doaku selama ini ? tapi aku mencoba untuk meyakinkan hati agar tidak terlalu banyak berharap akan sesuatu yang tidak pasti.
            Ketika hari menjelang senja, aku menatap keluar jendela meja kerjaku, matahari pun enggan berpamitan kembali peraduannya tertutup langit yang kelabu.
            “Sepertinya hujan akan turun deras lagi hari ini” gumamku
            “kenapa  Dinda? galau sekali kelihatannya kau” Tanya Renita temanku yang berdarah medan itu
            “iya..alamat bakalan kehujanan lagi ini” aku berkata lesu
            “Ya..sudah kau tunggu saja sampai hujannya reda atau mau pulang bareng aku??”tawarnya
            “Oh..ga usah. Kita kan berlawan arah, lagi pula kamu dijemput suami kan. Ga usah nanti malah merepotkan” ucapku sungkan “aku juga sepertinya lembur, kerjaan masih banyak yang belum terselesaikan” lanjutku
            Tak lama setelahnya hujan benar-benar turun dengan deras, disertai angin kencang merata hampir di seluruh ibu kota dan aku tertahan di kantor ini dengan beberapa staff lain yang sepertinya memang enggan merentas jalan yang diguyur hujan.
            Malam kian terus merangkak, aku baru menyelesaikan tugas-tugasku. Jam dinding kantor sudah mengarah ke angka 9, rupanya aku benar-benra tenggelam dengan pekerjaan hingga tak mengenal waktu, aku segera merapikan meja kerjaku dan berpamit pula dengan beberapa staff yang masih bertahan.
            Sudah hampir setengah jam berlalu, aku menunggu di shalter transjakarta ini namun sepertinya tidak ada tanda-tanda bus akan lewat. Karena lelah berdiri aku pun duduk di kursi yang ada di disana, walaupun agak risih sebelumnya karena ada seseorang yang sedari tadi memperhatikanku. Tiba-tiba saja ia mendekat dan menyapa
            “Maaf..kamu Adinda ya??” Tanyanya ragu
            “iya” jawabaku sekenanya dengan sikap waspada tentunya. Karena di Ibu kota tindak tanduk kejahatan kerap terjadi.Dengan kondisi malam dan agak sepi rasa khawatir tentu menghinggapi diri.
            “Kamu masih inget sama aku ga?”tanyanya lagi
            Aku mulai memperhatikannya lebih seksama, ya pandangan mata itu aku mengenalnya
            “Fikri ya ?” tanyaku agak ragu
            “Akhirnya, kamu masih mengenali aku. Apa kabar ?” ia sumringah
            Aku menjadi gugup seketika, ia memang telah jauh berbeda dari terakhir kami berjumpa. Pertemuan kali ini semakin menimbulkan tanda tanya besar di dalam hatiku.
            “Aku baik…” jawabku kemudian
            Kami saling berbagi cerita, bernoslagia pada kisah lama. Entah perasaan apa yang kini menghampiri, tapi satu yang pasti aku bahagia berjumpa dengannya kembali. Tuhan, inikah jawaban doa dan sujud panjangku selama ini.
            Yang tidak pernah ku duga orang dari masa lalu itu kembali hadir, mengusik kembali ketenangan dan gejolak perasaanku. Tuhan, jatuhkanlah hatiku pada orang yang tepat, orang yang memang Kau pilihkan untukku. Seseorang yang akan mengikrarkan janji sucinya untuk menjalankan syariat agama-MU. Amiiiin

# TAMAT #

3 komentar:

  1. Terima Kash Mba utk apresiasinya..^_^
    jadi semakin semangat utk menghasilkan karya lainnya nih :)

    BalasHapus
  2. wah, seneng nulis cerpen ya mbak .. ?
    mantap deh ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seneng banget mas..Alhamdulillah beberapa ada yg sudah mendapat apresiasi :)

      Hapus