Aku hanya bisa menatap nanar wanita
yang terbaring lama di ranjang ini dengan belalai-belalai medis dan monitor
yang menyala dengan gambar garis – garis bergerak bak kurva secara perlahan
yang menandakan masih adanya sebuah kehidupan.
Aku genggam tangan wanita yang telah
merawatku selama ini, dingin. Tak lagi hangat sebagaimana dulu ia sering
membelai rambutku semasa kecil. Air mataku mungkin sudah mongering, sujud –
sujud panjang pun selalu ku tunaikan berharap ada sebuah keajaiban dari-NYA
untuk wanita berusia senja yang ku panggil ia ibu.
“Mas..istirahat dulu. Sejak kemarin mas belum tidur, biar Ratih yang gentian menajaga ibu ya” Seorang gadis remaja menyentuh pundakku.
“Mas..istirahat dulu. Sejak kemarin mas belum tidur, biar Ratih yang gentian menajaga ibu ya” Seorang gadis remaja menyentuh pundakku.
“Mas masih ingin di sini menemani
ibu, jika sewaktu – waktu ibu bangun mas ingin ada disampingnya” Jawabku lesu
dan Ratih menyerah
Setiap waktu sehabis menunaikan
shalat tak lupa aku selalu mengaji disampingnya, aku tahu bahwa ibu
mendengarnya. Ayat – ayat yang ku lantunkan bahkan setiap curahan hatiku aku
selalu bercerita pada ibu meski tak sedikitpun ibu memberikan respon gerak
tubuhnya.
Genap tiga bulan ibu koma, pagi ini
aku menjaga ibu sendiri lagi karena Ratih harus kuliah dan Rani pun harus ke
sekolah mempersiapkan diri untuk ujian akhir yang akan di hadapinya beberapa
bulan lagi. Entah sudah berapa lama aku cuti kerja aku hanya tak ingin
sedikitpun meninggalkan ibu. Aku takut sesuatu hal terburuk terjadi ketika aku
tak ada di sampingnya.
Aku menggenggam tangan ibu dan
bicara sebagaimana biasanya
“Ibu..Safana sudah mengingatkan aku
tentang rencana pernikahan kami yang tertunda. Keluarga besarnya mendesak untuk
meminta kepastian dari aku, tapi bagaimana aku bisa melaksanakan pernikahan
sedangkan ibu dalam keadaan seperti ini. Apa yang harus aku lakukan bu ?” Setetes
air mataku membasahi sudut mata.
Ibu tetap terdiam dalam tidur
panjangnya hanya monitor disamping ranjangnya yang berbunyi perlahan. Aku
menelungkupkan kepalaku di ranjang ibu hingga tanpa kusadari aku terlelap dan
kedatangan Ratih yang membuatku terbangun.
“Mas…maaf jadi mengganggu tidurnya.
Ini Ratih bawakan makan siang” Ratih menyerahkan sebungkus nasi beserta lauknya
kepadaku
“Terima kasih Ratih, tapi mas tidak
lapar. Simpan saja dulu nanti buat Rani” ucapku
“Rani sudah makan. Ini buat mas, dari
semalam mas hanya baru makan sekali” Ratih mengambil sebuah kursi dan duduk di
sampingku “Mas…jangan menyiksa diri, ibu pasti akan sedih melihat keadaan mas
yang seperti ini. Mas makan dulu ya…setelah itu istirahat” Ratih terus membujuk
dan akhirnya aku menyerah oleh adikku, meskipun kurang nafsu untuk makan aku
harus memberikan nutrisi pada tubuhku, aku tidak ingin ibu sedih. Setengah
memaksa Ratih menyuruhku untuk istirahat di rumah dan karena kondisiku pun agak
drop selama beberapa hari di rumah
sakit aku pun menuruti permintaan Ratih.
Selama semalaman aku tidak bisa
tidur, selalu terbesit rasa khawatir terhadap ibu. Di rumah sederhana yang aku
beli khusus untuk ibu sejak beberapa tahun terakhir ini terukir semua kenangan
di setiap sudutnya. Di ruang keluarga tempat kami biasa berkumpul aku tak
sanggup lagi menahan gejolak perasaan, dalam isak aku menangis teringat sesalku
atas baktiku yang belum sempurna terhadapnya.
Rani datang memelukku “Mas…kita
semua sedih dengan keadaan ibu. Tapi mas jangan seperti ini, kita doakan saja
semoga kondisi ibu semakin membaik” Rani mencoba menenangkanku
Sesaat kemudian ponselku berbunyi,
ku tatap layarnya tertulis nama Ratih. Tiba-tiba saja perasaan khawatir
menyergapku, aku segera mengangkat telepon yang terus berbunyi
“Iya..Ratih. Ada apa dengan ibu ?”
tanyaku khawatir
“Mas..maaf Ratih mengganggu. Dokter
ingin bicara perihal keadaan ibu, mas bisa ke Rumah Sakit sekarang ?” tanya
Ratih
“Iya..mas akan segera sampai 30
menit lagi”
“Mas hati-hati bawa motornya” Ratih
berpesan sebelum menutup teleponnya
Aku pergi kembali ke Rumah Sakit
dengan ditemani Rani karena ia memaksa untuk ikut serta. Setibanya di Rumah
sakit aku segera menemui dokter yang menangani ibu di ruangannya dan Rani
menemui Ratih di ruang ICU.
“Pagi dok…” Sapaku pada dokter
separuh baya di hadapanku
“Pagi. Oh..Pak Wisnu, silakan duduk”
Dokter menyuruhku duduk “saya cukup berat sebenarnya menyampaikan ini, selama
perawatan dengan bantuan alat-alat medis, kami tidak melihat kemajuan yang
signifikan terhadap keadaan ibu anda. Kami tim dokter memutuskan untuk
melepaskan alat-alat medis tersebut, kami sudah berusaha semaksimal mungkin,
kondisi hati ibu anda sudah cukup parah. Kami mohon maaf Pak Wisnu” to the point dokter menyampaikan hal itu
yang terang saja membuatku drop
Setelah penandatanganan surat
persetujuan, alat-alat medis pun di lepaskan selang beberapa jam setelahnya ibu
menghembuskan nafas terakhir meninggalkan segala ke fanaan dunia. Kami tak sanggup
lagi menahan duka, bahkan Rani pingsan karena kesedihannya.
Usai dikafani dan disholatkan,
jenazah ibu dikebumikan. Air mata tak henti mengalir membasahi wajah kami. Usai
prosesi pemakaman kami pun segera kembali ke rumah, di sana sudah ada Safana
yang menemani para pelayat yang datang silih berganti.
Kini, satu minggu telah berlalu. Tak
ada lagi senyum, tak ada lagi kasih sayang dan kehangataan seorang ibu yang
selalu menjadi tempat kami bermanja. Pada dasarnya aku bukanlah laki-laki
cengeng yang sangat mudah mengeluarkan air mata, namun ketika menyangkut suatu
hal tentang ibu aku tak mampu menahan perasaan mendung di hati yang bergejolak.
Ibu adalah seorang wanita tegar yang memiliki kelambutan hati yang luar biasa. Ia harus membesarkan kami ketiga orang anaknya seorang diri karena laki-laki yang aku sebut Bapak itu meninggalkan Ibu dengan perempuan lain saat usia kami masih sangat belia, di saat usiaku baru 12 tahun.
Ibu adalah seorang wanita tegar yang memiliki kelambutan hati yang luar biasa. Ia harus membesarkan kami ketiga orang anaknya seorang diri karena laki-laki yang aku sebut Bapak itu meninggalkan Ibu dengan perempuan lain saat usia kami masih sangat belia, di saat usiaku baru 12 tahun.
Susah payah ibu bekerja serabutan
demi kami anak-anaknya untuk tetap bisa makan dan mengenyam pendidikan yang
terbaik. Mulai dari berjualan gorengan yang dititipkan ke warung-warung,
berjualan kopi hingga yang aku tahu baru terakhir belakangan adalah ibu pernah
menjadi kuli cuci tetangga yang di lakukannya secara sembunyi – sembunyi .
Semenjak Bapak pergi dari rumah
kontrakan kami yang dulu, ia tak pernah lagi kembali dan semua tanggungan jatuh
ke ibu. Entah sudah beberapa kali kami pindah-pindah kontrakan. Kami pun pernah
berusaha untuk menemui Bapak di rumah barunya yang megah, namun yang kami
dapatkan hanya hinaan dari istri barunya dan tak sekejap pun Bapak mau menemui
kami.
Sejak saat itu kami tumbuh dan
berkembang tanpa sosok seorang laki-laki yang harusnya mengayomi keluarga, ibu
pun hidup sebagai single parent namun
meski begitu kami tak sedikitpun kurang perhatian karena ibu melimpahi kami
kasih sayang yang sangat besar.
Suatu hari, saat itu menjelang
kelulusan Sekolah Menengah Atas. Aku yang memang terpilih menjadi salah satu
siswa berprestasi memiliki kesempatan mengikuti ujian perguruan tinggi negeri
lebih dahulu dibandingkan dengan teman lainnya. Ketika itu bahkan aku sudah
berpotensi masuk di perguruan tinggi negeri terbaik di kota ini, namun aku tak
banyak berharap dengan kondisi kami saat itu. Tapi ibu membakar lagi semangatku
untuk melanjutkan pendidikan.
“Kamu harus kuliah, jangan berhenti
untuk belajar. Masalah biaya kamu tidak perlu khawatir, Ibu masih bersama kamu
nak” ucap ibu saat itu
“Tapi, Ratih dan Rani pun butuh
biaya banyak bu”
“rezeqi itu sudah ada yang mengatur
dengan baik. Tinggal kita sebagai manusia berusaha sebaik-baiknya di jalan yang
di ridhai-NYA. Insya Allah akan selalu ada jalan”
Beruntungnya Ratih dan Rani pun
menjadi murid berprestasi di sekolahnya hingga beban ibu sedikit terbantu
dengan beasiswa yang di dapat mereka. Akupun akhirnya melanjutkan pendidikan di
sebuah perguruan tinggi ternama. Aku tak ingin berdiam diri melihat ibu banting
tulang sendirian, aku berusaha mencari pekerjaan di sela-sela padatnya jadwalku
sebagai mahasiswa.
Aku bekerja di sebuah surat kabar
ternama berskala nasional sebagai penulis freelance,
dan penghasilannya cukup lumayan sehingga secara perlahan kehidupan kami pun
merangkak membaik. Hingga akhirnya aku lulus sebagai lulusan berpredikat comloud dan di terima bekerja di sebuah
perusahaan nasional.
“Ibu bangga nak sama kamu. Sebagai
seorang kakak kamu memberikan contoh yang baik untuk adik-adikmu.” Ucapan ibu
yang membuatku begitu bahagia saat disela-sela pemotretan wisudaku
Beberapa tahun bekerja, sedikit demi
sedikit penghasilan aku tabung hingga kemudian berhasil mempersembahkan sebuah
rumah sederhana ini untuk ibu. Betapa bahagianya ia kala itu, bahkan sampai
meneteskan air mata haru.
“Ibu bahagia sekali dikaruniakan
anak-anak yang luar biasa seperti kalian” ucap ibu memeluk kami bertiga
Aku pun memperkenalkan wanita yang
ingin ku persunting, dan aku lihat ibu pun sangat menyukai Safana. Tak lama
berselang kami pun merencanakan pernikahan setelah pertemuan dua pihak
keluarga.
Satu bulan menjelang acara sakral
itu ibu jatuh sakit, tak sadarkan diri dan mengalami koma sekian lamanya. Itulah
sebabnya mengapa aku begitu terpukul atas sakitnya ibu, karena ibu tak pernah
mengeluhkan sedikitpun sakit di hadapan kami.
“Wisnu….kamu harus ikhlaskan
kepergian Ibu. Beliau sudah tenang dan bahagia di sana. Apa kamu ingin Ibumu
bersedih ? karena melihat anak yang di banggakannya seperti ini. Jika seperti
ini terus kamu bisa sakit. Makan lah sedkit setidaknya perutmu harus terisi”
Safana terus membujuk ku untuk makan setelah Ratih dan Rani tidak berhasil
meruntuhkan kerasnya pendirianku “Aku sudah membuatkan makanan kesukaanmu, soto
ayam. Aku akan sangat kecewa sekali jika kamu tidak mau memakannya” akupun
luluh, dan menyantap sajian di hadapanku meskipun dengan tidak semangat.
“Ibu adalah malaikat bagi kami, yang
memberi kehangatan dan kasih sayang tak ternilai. Aku merasa gagal sebagai
seorang anak. Aku merasa tidak berguna, bagaimana mungkin aku sampai tidak tahu
ibu telah menahan sakitnya sekian lama. Jika saja di tindak lanjuti lebih awal
mungkin tidak begini jadinya” Sesalku, aku ceritakan pada Safana yang tak
pernah meninggalkanku meskipun dalam keadaan berduka
“itu bukan salah kamu. Ibu terlalu
sayang dengan kalian, hingga ia tidak mau kalian khawatir dengan sakitnya”
Safana berucap lembut “Sudah setengah tahun kepergian ibu, kamu harus
mengikhlaskannya. Allah lebih menyayangi ibu sehingga ia berada di sisi-Nya
kini”
Aku terdiam cukup lama. Merenungi
ucapan Safana.
“Iya kamu benar. Raga ibu sudah tidak
bersama kita, namun kenangannya tetap abadi di hati kita masing-masing” ucapku
tersenyum
“Sesungguhnya kita hidup di dunia
ini hanya sementara, tinggal menunggu giliran kembali ke rumah abadi. Segala
sesuatu yang bernyawa akan mengalami mati, dan segalanya akan kembali kepada
pemilik-NYA” Safana berkata bijak
“Mas…ayo shalat berjama’ah. Sudah
masuk waktu Ashar” Rani mengingatkan kami, dan kami pun menyudahi pebincangan sore
itu.
#
T A M A T #
2 komentar:
ini cerpen apa beneran bos, tapi mengharukan sekali bos...
Cerpen Mas Bro..yang terinspirasi dari kisah nyata seseorang :)
Terima kasih untuk apresiasinya ^_^
Posting Komentar