Aku terbangun di sepertiga malam
ini, ketika aku hendak ke kamar mandi untuk membasuh air wudlu ku dengar
rintihan yang amat pilu. Suara tangisan ibu yang tengah berdoa akan mimpi
terbesarnya untuk bisa mengunjungi baitullah.
Aku hanya bisa termenung sedih,
merasa tidak berguna karena belum mampu mewujudkan harapan ibu di usia
senjanya. “Ya, Allah kabulkah harapan dan doa ibu” dalam hati aku pun turut
mendoa dan mengamini setiap untaian kata permohonan wanita yang telah sangat
berjasa padaku. Aku pun kemudian bergegas menunaikan niatku.
Ini adalah malam terakhir aku di
rumah, esok aku harus kembali ke kota karena masa cutiku telah selesai. Rasanya
ingin sekali berlama-lama tinggal bersama ibu, dan kali ini adalah kunjungan pertamaku
setelah dua tahun tidak sempat aku menjenguk ibu. Sudah sering kali aku
mengajak ibu untuk tinggal bersama ku di kota tapi selalu saja ibu menolak.
Ibu tinggal sendiri di rumah peninggalan almarhum Bapak, beliau tidak ingin meninggalkan istana sederhana yang telah dibangunnya bersama laki-laki yang di cintainya. Aku sangat paham betul, jika Bapak dan Ibu sangat ingin sekali menyampurnakan rukun islam, namun nasib tak dapat ditolak. Bapak harus pergi mengubur impian bersama jasadnya dan menyerah karena sakit liver yang di deritanya.
Sejak lama sebenarnya Bapak dan Ibu
sudah menabung untuk mewujudkan impian mereka, tetapi mereka terkena tipu oknum
tidak bertanggung jawab yang membawa kabur hasil jeri payah mereka selama ini.
“sedih sudah barang tentu nak,
mungkin Allah belum mengizinkan kami untuk berkunjung ke sana” Ucapan Bapak
kala itu
Aku sangat bangga memiliki orang tua
yang memiliki kesabaran luar biasa seperti mereka.
*
* *
Mentari pagi bersinar hangat,
burung-burung bernyanyi dengan kicauan. Suasana alam di kampung ini masih cukup
kental terasa, berat sekali rasanya harus beranjak pergi meninggalkan kembali
kampung kelahiran dengan udara yang bersih.
Aku menemui ibu di kursi kayu depan
rumah, beliau tengah duduk sendiri menyantap teh hangat dan singkong rebus.
“Sarah..mari nak duduk sini” ibu
berujar ketika menyadari langkahku mendekatinya
Aku pun duduk di dekat ibu.
“kamu mau berangkat jam berapa ?”
“Nanti bu..sekitar jam 10 an”
jawabku
Ibu menghela nafas “ibu itu
sebenarnya masih kangen sama kamu”
Aku menggenggam tangan ibu “Sarah
juga bu, jika saja Sarah bisa memilih, ingin sekali rasanya tinggal lebih lama
bersama Ibu”
“ya, sudah nduk..kamu kan harus segera kembali ke kota. Banyak tanggung jawab
yang harus kamu selesaikan”
“Ibu ikut Sarah aja ya ke kota. Biar
Sarah bisa menjaga ibu” Untuk kesekian kalinya aku membujuk
Ibu menggeleng tersenyum “Ibu ndak akan sanggup hidup di kota besar.
Ibu sudah cukup bahagia tinggal disini”
Aku pun tak sanggup lagi untuk terus
membujuknya.
Sebelum waktu menunjukan jam 10 aku
berpamitan pada Ibu, ku cium tangannya terlihat kembali mata sendunya
melepaskan kepergianku.
*
* *
Perjalanan kereta yang memakan waktu
hampir seharian, berhasil membuat pinggangku pegal-pegal. Keluar dari stasiun aku
segera mencari taksi untuk mengantarku kembali ke kontrakanku.
Telepon genggamku berdering, di
layar tertera nama kontak Annisa.
“Assalamualaikum..” sapaku
“Wa alaikumsalam
warrahmatullah..”jawab suara di seberang
“Ada apa ka?” tanyaku
“kamu sudah kembali ke Jakarta ?”
“baru tiba ka’ ini masih di jalan
mau ke kontrakan”
“bagaimana kabar ibu ?”
“Ibu sehat, beliau bahkan titip
salam untuk kakak dan keluarga. Ibu bertanya kapan kalian akan mengunjungi Ibu
?”
“Aku belum sempat, Mas Guntur saja
masih sibuk berlayar, Syakira belum bisa diajak untuk berpergian jauh…”
Cerita pun terus berlanjut.
Annisa adalah kakak kandungku, ia
telah menikah dan sudah lama tinggal di Jakarta. Sebenarnya Ka’Annisa adalah
orang yang baik, hanya saja ia memang cukup perhitungan masalah finansial.
Cukup wajar karena ia bekerja di perbankan bagian keuangan. Ketika permasalahan
yang menjerat Bapak dan Ibu yang terkena tipu waktu itu, Ka’ Annisa lah yang
paling marah.
* * *
Setibanya di
kamar kontrakanku, aku merapikan barang-barang yang sekiranya cukup berantakan
karena di tinggal penghuninya.
‘praaaaang’
Suara kaleng
terjatuh, aku mengambil dan hendak membuangnya ke kantong plastik yang sudah
berada di tanganku semenjak tadi. Tapi tunggu aku jadi teringat sesuatu.
Dari kaleng
bekas seperti ini lah Bapak mendidikku untuk bersikap hemat, menyisihkan
sebagian hak yang kita miliki selebihnya di sisihkan untuk kewajiban seperti
sedekah maupun infak. Bapak yang bekerja sebagai tukang bakso keliling di
kampung selalu membawa beberapa kaleng di gerobaknya. Tak sedikit orang yang
menyindir dan mengejek Bapak di kala beliau mengatakan bahwa ia menyiapkan satu
kaleng untuk menunaikan niatnya menginjakan kaki ke Baitullah. Sedikit demi
sedikit beliau sisihkan selama beberapa tahun hingga uang yang dikumpulkan
tercukupi, walau pada akhirnya kenyataan berkata lain dimana ada saja
orang-orang yang tega menodai niat suci seperti Bapak dan Ibu.
“Bukan rezeki
kita nduk, mungkin orang tersebut
lebih membutuhkan uang itu. Insya Allah akan digantinya yang hilang nanti
dengan yang lebih baik” ucapan Ibu, coba menanangkanku yang kala itu justru aku lah yang paling tidak
ikhlas dengan musibah tersebut hingga menangis. Ka’ Annisa bahkan sudah
melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwajib namun tak pernah ada hasil,
oknum-oknum tersebut selalu berhasil lolos.
Sesungguhnya,
jika saja Bapak dan Ibu mau menerima tawaran mas Guntur untuk berangkat ke
Mekah beberapa tahun silam pasca musibah itu mungkin gelar Haji telah tersemat
di depan nama mereka. Namun, Bapak dan Ibu menolak secara halus niat baik Mas
Guntur, karena saat itu mereka tahu
betul bahwa Mas Guntur dan Ka’ Annisa sedang berjuang merintis usaha dan
memperbaiki kondisi kehidupan keluarga mereka.
Musibah yang
menimpa Ibu dan Bapak tidak menyurutkan niat mereka untuk bisa menginjakan kaki
ke tanah suci. Mereka pun memulai kembali sdikit demi sedikit kali ini dengan
usaha yang lebih keras dari sebelumnya, tapi aku selalu dapat pancaran
keikhlasan di wajah mereka.
Bapak itu adalah
laki-laki yang baik dan lugu, beliau bahkan pernah di tipu oleh saudaranya
sendiri perihal harta warisan dari kakek. Sehingga pematang sawah dengan jumlah
berhektar-hektar itu pun raib di ambil alih olah saudara-saudaranya.
“Bapak kenapa
tidak bersikap tegas. Kenapa saudara-saudara Bapak itu tega sekali mengambil
hak waris yang harusnya jatuh ke tangan Bapak ?” itu pertanyaan yang ku ingat
yang di lontarkan Ka’ Annisa, saat itu usiaku baru sepuluh tahun dan belum
terlalu memahami apa maksud pembicaraan mereka
“Kita tidak
boleh tamak nak. Harta itu tidak di bawa mati, kelak nanti ketika Bapak tiada
pun Bapak lebih ingin mewariskan kalian dengan ilmu dan budi pekerti yang baik
yang akan mendoakan Bapak. Karena doa anak-anak yang saleh akan menjadi amalan
tak terputus bagi orang tuanya ketika di alam keabadian” terang Bapak membelai
rambutku dan Ka’Annisa.
Bapak dan Ibu
mendidik kami dengan sangat baik, bukan dengan harta benda tapi lebih kepada
dasar-dasar ilmu agama. Hal itulah yang membuat kami tumbuh menjadi manusia yang
lebih takut pada Tuhan-Nya dan bersikap mandiri.
Dua tahun
berlalu, dari Bapak dan Ibu memulai kembali langkah ikhtiar mereka. Bapak
runtuh, beliau jatuh sakit dan menurut diagnose dokter Bapak mengalami sakit
Liver yang sudah cukup parah karena terlambat penanganannya. Uang yang telah
dikumpulkan kembali pun habis untuk perawatan dan obat-obatan Bapak. Namun,
Allah berkehendak lain, genap satu bulan perawatan Bapak akhirnya harus
menyerah dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku bahkan
sempat pingsan ketika jasad Bapak hendak di kebumikan, meski aku tahu dalam hal
ini Ibu lah yang paling merasa terpukul atas kehilangan belahan jiwanya.
Beruntung sertifikat rumah yang digadaikan untuk pengobatan Bapak dapat ditebus
kembali oleh Ka’ Annisa.
* * *
Hari pertama ku
masuk ke kantor setelah beberapa hari cuti, aku melewati papan pengumuman dan
terhenti berdiri karena ada informasi yang membuatku tertarik. Perusahaan akan
memberikan reward kepada kearyawan
yang telah lama mengabdi di perusahaan tempatku bekerja, yakni sebuah
perjalanan religi umrah ke tanah suci.
Aku berfikir
sejenak
“mungkin ini
bisa menjadi salah satu jalan untuk dapat mewujudkan harapan Ibu” aku bergumam
dalam hati
Meskipun aku
tahu, pasti tak mudah Karena sebelumnya ada beberapa tes yang harus di lalui
belum lagi peserta yang ikut pun aku tahu pasti tidak sedikit. Kriteriaku telah
terpenuhi dari beberapa syarat yang diajukan aku pun segera meminta formulir ke
bagian HRD.
“Semoga Engkau
meridhai ikhtiarku ya, Allah”
Serangkain tes
kujalani, aku bahkan hampir menyerah di buatnya. Hasil keputusan tiga bulan ke
depan. Akupun tak berani banyak berharap, jika itu memang rezeqiku Allah pasti
akan memudahkan jalan-NYA.
Runtinitas
pekerjaan telah menyita perhatianku bahkan aku hampir melupakan satu hal jika
saja salah seorang teman tidak memberitahukannya.
“Sarah…selamat
ya, kamu salah satu karyawan yang mendapat reward..”
ucapnya datang tergopoh-gopoh ke meja kerjaku
“Reward ? reward apa ?”aku justru jadi lupa ingatan
“reward umrah itu..”
Senyum bahagia
menghiasi wajahku “Sungguhkah ? namaku ada di salah satu yang terpilih ?”
Akupun segera
berlari menuju ruangan HRD dan menanyakan perihal tersebut.
“Iya..selamat ya
Sarah. Kamu berhasil mendapatkan reward untuk perjalanan religi umrah ke tanah
suci untuk dua orang” ucap Ibu Rita selaku manager HRD
“Dua orang bu ?”
antara percaya dan tidak percaya bercampur rasa bahagia dan haru
“iya..reward ini memang di peruntukan hanya
untuk lima karyawan terpilih, namun dua dintaranya di beri kesempatan untuk
mengajak satu orang. Jadi total kami memberangkatkan tujuh orang untuk Umrah”
Ibu Rita menjelaskan
“Alhamdulillah…”
rasa syukur tak henti terucap dari mulutku
Aku pun tak
sabar untuk segera mengabari ibu di kampung.
* * *
Setengah tahun
berlalu, tak henti ibu meneteskan air mata kala berdiri di depan ka’bah, dan
mendoakan orang-orang terkasihnya.
Ketika beberapa
hari perjalanan umrah tersebut kini aku bisa melihat senyum ibu. Senyum
bahagianya di kala telah berhasil mewujudkan harapan dan impiannya untuk
menunaikan perjalanan umrah ke tanah suci.
Allah memang
telah merencanakan semuanya dengan indah, diberinya kesempatan aku bersama Ibu
untuk menunaikan Umrah bersama dengan fasilitas terbaik yang aku dapat dari reward tempatku bekerja. Semoga suatu
hari nanti bisa ku genapkan menunaikan ibadah haji untuk kembali ke tanah
haram, negeri tempat kelahiran Rasulullah.
_ T A M A T
Subhanallah, terharu sekali… ditunggu tulisan selanjutnya (penasaran)
BalasHapusTerima kasih sahabat, sudah bersedia mampir dan sejenak membacanya ^_^
HapusTerima kasih kembali sahabat, :) salam
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus