Aku terus berlari,tak kuperdulikan rintik-rintik gerimis yang mulai membasahi. Tak pernah ku mengerti apa yang kurasakan kini, yang ada dalam pandangan dan fikiranku segera menemuinya serta meminta penjelasan padanya.
Setibanya di tepi danau tempat kami biasa bertemu, aku segera mengatur nafas yang tersengal-sengal, dan Haikal seperti kebiasaannya sudah dengan posisi memunggungi menatap danau serta tangan yang dimasukan dalam saku jaketnya. Aku segera menghampirinya.
“Haikal” panggilku
Ia menolehkan pandangan, selalu
nampak kaku tanpa ekspresi wajah yang tak bisa kupahami meski kami sudah
bersahabat tahunan lamanya.
“Apa-apaan ini, seminggu lagi kamu
menikah dan kamu tidak pernah mengabari aku sebelumnya” Aku langsung
mencercanya
“Sebegitu tidak pentingnya kah aku
hingga kamu tidak memberitahuku, kita sudah lama bersahabat bahkan untuk hal
seperti ini kamu baru memberitahuku seminggu sebelumnya” aku meluapkan
kekesalanku
Haikal tetap diam, aku melihat sendu
di wajahnya. Apakah ia tidak bahagia dengan semua yang akan dijalaninya?
“Sebelumnya aku sungguh minta maaf
tidak memberitahumu jauh-jauh hari. Kesalahan ada padaku, dalam beberapa pekan
terakhir kita tidak bertemu itupun kemauanku karena aku ingin menata hatiku” Ia
mulai menjelaskan
Hujan turun semakin deras, entah
mengapa kaki kami terpaku tidak beranjak dari tempat semula walau untuk sekedar mencari tempat berteduh. Tidak
lagi ku perdulikan dinginnya angin yang menusuk, aku ingin mendengar
penjelasannya.
“menata hati apa maksudmu?” aku
benar-benar bingung dibuatnya
Hening beberapa saat, kemudian ia
mulai bicara lagi saling berlomba dengan gemericik hujan yang semakin deras.
“ingatkah kamu, hujan selalu
mempunyai kenangan untuk kita berdua. Saat-saat dimasa sekolah dulu kita
berjalan dan berlari di bawah hujan dan kamu memaki pengendara mobil yang
mengguyur kita dengan lumpur hingga seragam kita sangat kotor. Atau saat
sepulang dari toko buku payung yang kita kenakan rusak akibat tiupan angin yang
begitu kencangnya. Dan kamu selalu tersenyum bahagia saat hujan turun”
“lalu kenapa dengan semua itu ??”
aku mencoba mencerna kata-katanya di balik pertanyaanku
“Aku mulai mencintai kamu. Aku menyukai
senyum merekahmu saat menyentuh rintik hujan, aku suka rambutmu yang basah oleh
hujan. Maafkan aku, sudah berulang kali aku mencoba menahan perasaan ini namun
aku tidak sanggup. Aku tahu bahwa kamu tidak pernah menganggapku lebih dari
sekedar sahabat.”
Aku terdiam, aku tak mengerti apa
yang terjadi pada hatiku. Akupun merasakan kepedihan ini, menahan sendiri rasa
ini dan meletakannya di sudut terdalam hatiku. Justru aku yang begitu takut ia
menganggapku tak lebih dari sekedar sahabat.
‘jika kamu tahu sesungguhnya akupun
mencintaimu namun tetap aku tidak bisa menyampaikannya. Aku tidak ingin merusak
kebahagiaan yang akan kamu bina nantinya’ hatiku meronta pedih
“setelah sekian lama waktu yang
telah kita lewati bersama, kenapa baru kamu utarakan semua itu sekarang ?
ketika kamu sudah mempersiapkan pernikahan dengan orang lain yang bahkan tak
pernah kamu ceritakan sebelumnya” aku bertanya parau “iya..aku ingat hanya ada
satu sosok yang tak pernah kamu sebutkan namanya, ia yang menjadi pelangi
hidupmu, ia yang selalu menjadi inspirasi dari setiap lagumu, ia yang selalu
mengusik tidur hadir di mimpi-mimpimu…”
“Ia yang kuceritakan padamu dulu
adalah kamu, sudahlah tidak usah terlalu menanggapi kata-kataku, karena aku
sangat menyadari posisiku di hatimu. Aku hanya ingin sekedar kamu tahu.” Ucap
Haikal kemudian “Ayo kuantar kamu pulang, kamu semakin kuyup nanti kamu malah
sakit” Haikal menstarter sepeda motornya
Aku menatap punggungnya ‘kamu
mungkin tidak menyadari dibawah hujan ini aku menangis untukmu. Sudah ratusan
nyanyian hujan, kutitipkan kerinduan yang tidak pernah tersampaikan untukmu.
Namun mengapa baru kini kamu sampaikan perasaanmu yang sesungguhnya.’ Hatiku
menjerit dalam tangis
Malam semakin beranjak pekat, aku
sudah terbaring dalam kamar tidur yang hangat namun dalam beberapa kali aku
hanya berputar mencari posisi ternyaman, mataku belum mampu terpejam. Hatiku
sungguh kalut teringat ucapan Haikal siang tadi.
‘Apakah mungkin Haikal akan
membatalkan pernikahannya jika aku menyampaikan perasaanku padanya ?’ aku
merenung.
‘Ah..tidak !! itu
sama saja aku merusak kebahagiaan dua keluarga yang sudah mempersiapkan
segalanya dan undangan pun sudah disebar. Aku tidak boleh egois’ hatiku
bertarung
Aku segera bangkit dari tempat tidur
dan mebuka laci mencari-cari lembaran kenangan kebersamaanku dengan Haikal.
‘Tuhan..mengapa aku tidak pernah
menyadarinya, dalam setiap gambar itu menampakan Haikal yang selalu
memperhatikanku. Mungkin aku yang salah, tidak pernah peka terhadap sikapnya terhadapku
selama ini’
Pagi mulai menjelang, mentari hari
ini bersinar cerah setelah seharian kemarin kota kembang di guyur hujan. Hari
ini aku meminta lagi bertemu dengan Haikal di tempat biasanya. Kali ini
berbeda, aku tidak lagi telat sebagaimana sebelumnya. Ketika ia datang, aku
sudah menunggunya.
“Najwa” panggilnya menghampiriku
Aku tersenyum menatapnya, “duduklah”
pintaku . Kamipun duduk berdampingan di atas rumput yang masih lembab
“Haikal..hari ini mungkin adalah
pertemuan terakhir kita, sebelum pernikahanmu” ucapku
“kenapa bicaramu seperti itu??”
Aku diam beberapa saat “aku di
pindah tugaskan ke Makassar” padahal sesungguhnya akulah yang meminta mutasi
itu untuk menjauh dari hidupnya
Haikal terdiam “kapan kamu mulai
berangkat ??” Ia nampak tak rela dengan pernyataanku
Aku berusaha mencairkan suasana
“tenang saja aku pasti menghadiri pernikahan sahabatku ini” aku menepuk-nepuk
pundaknya “keberangkatanku dua minggu lagi kurang lebih”
“Apa kamu juga akan mencari cinta
pertamamu itu?” pertanyaannya sungguh membuatku terkejut, tak pernah terpikir
olehku bahwa ia akan bicara mengenai itu
Aku tertunduk, menggelengkan
kepalaku “dia sudah bahagia dengan hidupnya kini, dan aku tidak akan
mengganggunya”
“Jika kamu mencintai
seseorang..nyatakanlah semua, sebelum semua terlambat” ucapannya seakan
menyindirku “tak ada yang pernah tahu pada siapa hati akan berlabuh, selama
kesempatan masih dapat kamu raih, pergunakanlah sebelum semua
sirna” lanjutnya
“Adakalanya cinta tidak harus
dimiliki. Hakikat mencintai itu sendiri adalah saat melihat seseorang yang kamu
cintai bahagia” aku menatap Haikal yang tak menyadari pandanganku, ketika ia
menolehkan wajahnya, dan mata kami saling bertata aku segera berpaling muka tak
ingin ia tahu perasaanku sebenarnya.
Kebisuan terjadi antara kami,
sebelumnya tidak pernah ini terjadi diantara kami.
“Apakah kamu ingat saat hari ulang
tahunmu, dua tahun lalu. Kamu bersikeras ingin ke danau padahal saat itu hujan
deras sekali. Alhasil keesokannya kamu jatuh sakit” lanjut Haikal kemudian
“terus kamu membantu merawatku,
menemaniku dan selalu ada disaat aku membutuhkanmu yang ketika itu mamahku
sibuk membuat pesanan catering”
tambahku, tersenyum mengenang segala perhatian yang dicurahkannya untukku
Haikal pun turut tersenyum, di dalam hati aku berbisik ‘saat
itulah aku mulai menyadari ada perasaan lain di hatiku. Ada inginku lebih dari
sekedar sahabat denganmu tapi kamu tak pernah memberikan secara nyata
sinyal-sinyal itu’
Lembayung senja tengah singgah
diperaduannya, Haikal mengantarkanku kembali ke rumah. Ada perasaan tak rela
saat menatap kepergiannya.
Hari silih berganti, akad suci
itupun sudah di ikrarkan Haikal untuk seseorang yang kini telah sah menjadi
istrinya. Di tengah para tamu yang hadir memanjatkan doa, aku pun turut serta
memanjatkan harapan kebahagian untuk mereka.
Ketika saat perjamuan makan, aku
menghampiri dua sejoli yang berbahagia itu. Aku mengucapkan selamat kepada
mereka dan mengutarkan perpisahan pada Haikal.
“Aku sekalian ingin pamit,
keberangkatanku di percepat. Siang ini adalah jadwal penerbanganku.” Aku
berpamitan
“Apa tidak bisa diundur ? aku jadi
tidak bisa mengantarmu ?”
Aku menggeleng, tersenyum “tidak
usah..jalani saja resepsimu hingga selesai” ucapku
“Kamu hati-hati ya disana.Jaga
kesehatanmu, jangan sering main hujan-hujanan” Haikal menasehatiku
“Kamu tidak perlu terlalu khawatir,
sekarang sudah ada yang harus lebih kamu perhatikan” Aku menggoda Haikal dengan
melirikan pandangan ke istri yang di nikahinya dan ia hanya tersenyum
Gerimis mengiringi langkahku melepas
segala kenangan dan meninggalkan kota kelahiranku.
Kini, setelah setengah tahun berlalu aku
menetap di sebrang pulau. Aku baru sempat mengunjungi pantai Losari yang
menawan indahnya, tempat wisata andalan bagi kota bugis. Ketika sedang asyiknya
menikmati pemandanga alam di hadapanku ini, hujan pun turun jua setelah sejak
pagi tadi hanya awan berselimut mendung.
Aku mengulurkan tangan menyentuh dan
merasakan setiap rinainya yang turun, aroma baunya yang khas dari tempatku
berteduh dan tidak lagi bermain atau berlari dibawah hujan sebagaimana dulu
bersama Haikal.
“Hujan…selalu mengingatkan aku
tentangmu, tentang waktu yang pernah kita ukir bersama. Berbahagialah engkau
disana bersama pilihanmu yang akan menemani sisa hidupmu, aku akan selalu
mendoakanmu dari jauh. Sebagai sahabat dengan cinta yang tak pernah terungkap”
aku bergumam pelan menikmati rintik hujan yang menyentuh jemariku.
‘Hujan ini tak lagi sama, namun
kerinduan itu tetap ada’
# TAMAT #
2 komentar:
hehe cieee yg rindu sabar y mbak hehe
ihh..itu kan cerpen, tapi kalaua sampai meyentuh aihhh..berhasil..berhasil :D
Posting Komentar