Ilustrasi Musik (Sumber gbr : Pinterest) |
Aku tak bisa berpaling untuk
tidak menatapnya, dari balik jendela kaca ini aku mengaguminya, bahkan ingin
memilikinya. Sebuah keindahan yang telah membuat aku jatuh cinta, seorang gadis
muda sebaya denganku sudah paham betul
dengan kebiasaanku. Sebuah toko musik
yang berada tak jauh dari gang kecil tempat tinggalku.
“Mau
lihat ke dalam dulu ka” sapa gadis itu
“tidak
mba..”jawabku tersenyum
“saya
sering perhatikan kakak beberapa hari belakangan ini, sepertinya tertarik
dengan piano itu”
“Bentuknya
cantik sempurna, tapi…saya tidak sanggup untuk membelinya. Mari mba saya
duluan” aku pun undur diri
Jam
kulit butut di pergelangan tanganku sudah menunjukan ke angka 10, hari ini
tugas kuliah banyak sekali. Setelah sore hingga malam seperti ini pekerjaanku
di sebuah outlet foodcourt ayam goreng
menambah keletihanku.
Namaku
Gista Sofiani, saat ini aku tengah menyelesaikan kuliahku di bidang akuntansi
dan bekerja paruh waktu di sebuah kedai makan ayam goreng. Aku memiliki
kegemaran yang aku lakukan secara sembunyi-sembunyi dari ayah, karena beliau
sangat tidak menyukai jika aku melakukan hal tersebut. Iya, aku sangat suka menyanyi,
dari kelas musik yang pernah kuikuti menurut pelatih saat itu bahwa aku
memiliki kualitas suara yang sangat bagus, jenis suara yang tak semua orang
memilikinya, namun kegiatan itu harus terhenti lantaran ayah murka ketika mengetahuinya.
Menurut
kabar yang kudengar dari tetangga yang telah lama tinggal bersebelahan dengan
tempat tinggal kami, ayah begitu membenci penyanyi karena ibuku adalah seorang
penyanyi dan dengan tega ia meninggalkan kami untuk mewujudkan ambisinya. Sejak
saat itu ayah berjanji pada dirinya, untuk membuang jauh-jauh yang berhubungan
dengan musik, aku tahu itu pasti sangat berat dilakukannya karena tanpa sengaja
akupun pernah menemui sebuah gitar tua di gudang rumah dan aku yakin sekali itu
milik ayah. Tak pernah ada lagi dendang lagu kecuali hanya musik Mozart yang
sering ayah dengarkan dari dvd player kamarnya.
Ketika
memasuki rumah kecil kami, ayah sudah tertidur di kamarnya. Beliau pasti sudah
bekerja dengan sanagt keras untuk memenuhi kebutuhan hidup kami dan itulah
sebabnya aku tak ingin menambah beban hidupnya. Aku berinisiatif mencari
beasiswa dan bekerja paruh waktu untuk menunjang pendidikan ku agar tetap dapat
berjalan.
Hari
itu membuat perasaanku tidak karuan,
berjalan di koridor kampus namun pikiran melayang-layang jauh. Mendapat surat panggilan dari pihak
kampus, yang mengabarkan keberlangsungan kuliahku, lantaran beasiswa yang
terancam di cabut karena nilai akademis ku yang semakin turun. Tidak sengaja
ketika melewati papan pengumuman di kampus, langkahku terhenti. Aku membaca
pamflet yang membuat mataku berbinar, namun aku sadar tak mungkin untuk turut serta dalam kegiatan
teater musikal yang di lombakan itu, meskipun hadiah yang ditawakan kepada tim
pemenang sangat menggiurkan.
“Sudah
liat pengumuman ini, kamu ikut daftar kan ?” Niar menyerahkan sebuah pamflet di
hadapanku
Aku
menggeleng pelan “aku tak bisa ikut, ayah pasti tidak akan menyetujuinya”
“Sayang
sekali, padahal tim musik kampus kita sedang membutuhkan seseorang yang
memiliki kualitas suara seperti kamu” Niar mencoba membujuk
“Aku
tidak ingin memancing amarah ayah” aku tertunduk
Diam
beberapa saat
“Baiklah,
aku tinggalkan form pendaftaran ini. Siapa tahu kamu akan berubah pikiran
nantinya, kesempatan tidak selalu datang dua kali, jadi pikirkanlah lagi”
Dan
saat ini, di sinilah aku berdiri mencari keterasingan dan kesunyian sebuah
tempat dimana tak seorang pun enggan untuk berada, di atap gedung. Dari
ketinggian ini aku bisa melihat semuanya terlihat lebih kecil, Angin yang
berhembus lebih kencang menerpa, pun aku berharap mampu membawa sedih yang kini
aku rasakan.
Sayup
ku dengar sebuah alunan suara yang begitu lembut. Aku mencari-cari sumber suara,
tempat ini begitu sunyi, alunan suara itu dari harmonica, siapakah yang
memainkannya ? adakah orang lain di sekitarku ?
“Apakah
ada orang di sini ?” aku berjalan berkeliling tempat lapang ini
Sampai
kemudian aku dikejutkan dengan munculnya seseorang dari balik sebuah papan yang
tak terpakai
“kamu
telah mengganggu kedamaianku” katanya ketus
Siapa
orang ini, jelas selama ini aku tak pernah melihatnya di sini dan kali ini
menyalahkanku. Padahal jelas-jelas dia yang telah mengusik tempat privacyku. Tunggu, sepsertinya aku
mengenal orang ini, laki-laki jurusan MIPA yang terkenal dingin dan misterius
itu. Beberapa mahasiswa dan dosen sering membicarakannya, karena kecerdasan
yang di milikinya namun sikapnya yang terkesan angkuh membuat dia lebih sering
terlihat sendiri.
“Aku
bahkan tidak tahu bahwa kamu pandai bermain musik” ucapku
Terlihat
senyum simpul di wajahnya “aku bahkan tidak tahu bahwa ada spesies sepertimu di
kampus ini”
Apa
katanya ?spesies, arrrggghh orang ini
ternyata sangat menyebalkan.
“Mana
ada orang normal yang berteriak-teriak di atap kampus yang sepi, lalu menangis
meraung-raung seperti yang barusan di lakukan olehmu” lanjutnya
Wajahku
memerah, rupanya sudah sejak lama dia berada disini bahkan mengetahui apa yang
aku lakukan sejak dari tadi.
“Hidup terus berjalan, tak perduli
sebanyak apa kepedihan yang kamu rasakan. Nikmatilah, lakukan apa yang kamu
sukai, lepaskan tali yang mengekangmu. Keliahatannya kamu suka menyanyi, maka
nyanyikan apa yang kau rasakan, rasakan apa yang kau nyanyikan, jika itu mebawa
perasaan nyaman di hatimu” kata-katanya berhasil membuatku diam terbius
Senyumnya
terukir di wajahnya, lembut dan manis aku tak bisa memungkirinya. Entah, ada
perasaan nyaman saat aku berada di dekatnya.
“kamu
harus memiliki keberanian untuk memperjuangkan apa yang engakau sukai,
percayalah bahwa kamu mampu meyakini apapun atau siapapun yang membatasinya”
Laki-laki itupun pergi meninggalkanku sendiri, ah bodoh bahkan aku tak sempat
bertanya siapa namanya.
Sampai
akhirnya aku menyadari, kakiku menginjak sesuatu. Sebuah kunci, ah pasti
miliknya. Aku mencoba mengejarnya namun sepertinya ia berjalan cepat sekali
menuruni anak tangga. Tak ada pilihan lain selain menemuinya di fakultas MIPA,
atau tempat parkir. Kenapa justru jadi ribet begini, tapi jika tidak segera di
kembalikan dia pasti sedang kebingungan mencari-carinya.
Ada
sekitar dua jam aku mencari-cari keberadaannya, sampai kemudian aku melihat
punggungnya yang tegap sedang berbicara dengan seorang petugas parkir. Aku pun
segera menghampirinya, benar saja, dia sedang mencari kunci motornya yang
hilang.
“Maaf,
apa kamu sedang mencari ini ?” laki-laki yang mengenakan kaca mata itu beralih
menatapku terpancar sumringah diwajahnya, ah dia tidak sekaku yang aku
bayangkan sebelumnya
“Oh,
syukurlah. Aku sudah panik mengira kunci itu hilang. Terima kasih..ehmm..siapa nama kamu ?” tanyanya
“Gista.
Panggil saja aku Gista” Aku mengulurkan tangan
“Aku
Genta” dia membalas uluran tanganku “Mau pulang bareng ?” tawarnya
Aku
cukup terkejut mendengar ajakannya, “ah..tidak usah. Nanti malah merepotkan,
aku juga harus segera berangkat kerja” aku menolak halus
“tidak
sama sekali, anggap sebagai balas budiku karena kamu telah menemukan kunci
motorku. Kamu pasti sudah terlambatkan, naiklah” Genta sudah menstarter sepeda
motornya
Dia
benar, aku memang sudah cukup terlambat karena mencari keberadaannya tadi. Aku
pun tidak dapat menolak tawaran baiknya. Sekitar kurang lebih satu jam Genta
dengan lihai mengendarai sepeda motornya, menyalip-nyalip kerumunan kemacetan.
“Apa
mau aku jemput ? kamu selesai jam berapa ?” tanya Genta ketika sudah tiba di
tempat tujuan
“Tidak usah, terima kasih. Aku masuk dulu ya”
pamitku padanya
Sejak
saat itu, hubunganku dengan Genta semakin dekat bahkan ada rumor yang
menyebutkan bahwa kami telah menjalin hubungan lebih dari sekedar teman. Aku
bisa merasakan tatapan iri mahasiswi lainnya, yang tidak mampu dekat dan
meruntuhkan orang seidingin Genta, namun aku melihat Genta tidak terlalu perduli
dengan rumor itu.
“Aku
ingin mengajakmu ke suatu tempat, dan aku yakin kamu pasti akan menyukainya”
Ucap Genta
“Mau
kemana ?” Tanyaku heran
“nanti
kamu juga tahu” ucap Genta misterius
Sepeda
motor Genta melaju menyusuri jalanan ibu kota, bahkan sampai saat ini aku duduk
diatas sepeda motornya tak pernah ku tahu apa yang di rencanakannya. Genta
menghentikan sepeda motornya di depan sebuah gedung studio musik rekaman, dan
hal itu semakin membuatku bertanya-tanya.
“mau
apa kita di sini ?”Aku masih kebingungan dengan sikapnya
“sudah
ikut saja dulu” Genta menggenggam tanganku, dan membawaku ke sebuah ruangan
Aku
takjub melihat tempat itu sebuah studio rekaman, dengan beberapa alat yang
biasa digunakan untuk sorang penyanyi membuat lagunya.
“Gista..bernyanyilah
dari hatimu. Senandungkan suara hati apapun yang sedang kamu rasakan. Bila kamu
tengah terluka dengarkan alunan lagu yang akan mampu menyembuhkan lara hati, warnailah
hidupmu kembali. Aku percaya ayahmu nantinya akan luluh dan mendukung
keinginanmu. Aku ingin kamu ikut serta dalam lomba teater musikal itu dan aku
tahu itupun harapnmu. Biarkan aku rekam contoh suaramu untuk ikut audisi.
Di
luar pengetahuanku, tenyata Genta telah mempersiapkannya, dan untuk lolos dari
Audisi teaterikal musikal bukan hal yang sulit bagiku. Dengan keraguan yang
memuncak aku menyerahkan undangan kepada ayah agar turut serta menghadiri
pertunjukan yang akan aku bawakan bersama teman lainnya. Seperti dugaanku ayah
menanggapi dingin dan hanya berlalu tanpa menyentuhpun undangan yang ku letakan
di atas meja.
Hari
itupun tiba, kompetisi terater musikal di hadiri berbagai tamu undangan dari
beragam kalangan. Pesertanya pun sangat antusias, di ikuti oleh berbagai kelas
musik dan teater dari berbagai kampus. Wajah-wajah tegang menyelimuti kami para
peserta tetapi waktu 60 menit terasa cepat berlalu, bagi kami yang sedang
menantikan tiba saatnya pentas.
Kami
berusaha mempersembahkan yang terbaik, di akhir penampilan sungguh luar biasa
antusias para tamu undangan bahkan di
antaranya anda yang memberikan standing
applause. Dan aku tersenyum bahagia saat kulihat di salah satu sudut
ternyata ayah datang menyaksikan penampilanku, terima kasih Tuhan. Di akhir
pengumuman tim teater musikal kami keluar sebagai runner up, rasa syukur dan bahagaia kami rasakan. Setelah
perkumpulan bersama teman-teman berakhir, aku segera menemui ayah yang ternyata
masih menungguku.
“Terima
kasih ayah..sudah datang memenuhi undangan Gista” ujarku seraya memeluk tubuh
tegap laki-laki yang telah merawatku seorang diri selama ini
“Ayah
bangga padamu, Nak. Maafkan ayah selama ini terlalu egois membatasi apa yang
kamu sukai. Jika saja temanmu tidak segera menyadarkan ayah, mungkin ayah tidak
akan pernah tahu betapa terlukanya kamu meninggalkan musik yang pada nyatanya
membuatmu sangat bahagia melakukannya” Jawab Ayah
“Teman..??”
aku bertanya heran
Sampai
tak kusadari sudah ada sosok Genta di sampingku, ayah memberikan isyarat
“Genta”
aku berujar
Ia
tersenyum “Aku tidak melakukan apapun, tapi kasih sayang ayahmu lah yang
membuat akhirnya menyadari jika putrinya ini memiliki talenta yang hebat”
Aku
tersipu malu mendengar jawabannya
“baiklah,Ayah
akan menunggu di tempat parkir” pamit ayah meninggalkanku bersama Genta
“Terima
kasih, kamu sudah melakukan banyak hal untuk ku.” Ucapku
“Kamu
layak mendapatkannya” Genta menggenggam jemariku “terus lakukan apa yang kamu
sukai, yang kamu yakini karena itu yang akan membawa kebahagiaan untukmu”
ucapnya
#Blog post ini dibuat dalam rangka
mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia,
Nulisbuku.com dan
Storial.co
6 komentar:
Semoga menang, ya? :) Sukses untuk projectnya. :)
Amiiin, Terima kasih mba sudah mampir & supportnya ^_^
wah sukses ya mbak hehe... jadi pengen nyanyi apa y aku hehe
Amiinn terima kasih. Silahkan nyanyikan apa yg dirasakan. hehehe
apa yah ooohh nyanyi bintang kecil aja deh hehehe
sepertinya sedang bernostalgia masa kanak-kanak y
wuheehehe
Posting Komentar