Saat ini sudah memasuki pertengahan Agustus, yang kerap dikenal sebagai bulan kemerdekaan. 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan tahun 2022 sudah memasuki HUT yang ke-77.
Kemerdekaan negeri tentu tidak di dapat secara cuma-cuma. Ada jasa para pahlawan yang tak boleh terlupa. Para pahlawan berjuang dalam caranya masing-masing untuk memeberikan yang terbaik serta kemerdekaan bagi negeri. Perlu di ingat juga, bahwa begitu banyak palawan nasional wanita yang juga sangat berjasa.
Tak hanya tegas dan berani, pahlawan nasional wanita ini tentunya memberi andil agar Indonesia lepas dari penindasan para penjajah. Dibalik semangat juangnya yang tinggi, beberapa ada yang berdarah bangsawan. Diantaranya :
1) Laksamana Malahayati
Sumber Gambar : 1001indonesia (net) |
Bernama asli Keumalahayati atau akrab disebut Laksamana Malahayati merupakan salah satu pahlawan wanita yang berjuang dan berasal dari Kesultanan Aceh. Beliau adalah seorang keturunan bangsawan.
Ayahnya adalah Laksamana Mahmud Syah, keturunan dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh sekitar tahun 1530–1539 M. Laksamana Malahayati merupakan sosok pemberani yang tak kenal lelah dalam usahanya mengusir penjajah Belanda. Beliau pun diangkat sebagai laksamana oleh Sultan Aceh dan diamanahkan untuk memimpin 2 ribu orang dalam pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid).
Dalam berbagai catatan sejarah, Malahayati dikenal sebagai laksamana laut perempuan pertama di Indonesia, Beliau adalah tokoh perempuan yang ahli di medan perang dengan senjata yang digunakan rencong. Bahkan Laksamana Malahayati berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 11 September 1599 dan membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal.
Laksamana Malahayati gugur saat melindungi Teluk Krueng Raya dari serangan Portugis yang dipimpin Laksamana Alfonso De Castro pada tahun 1615. Atas jasa-jasanya, akhirnya pemerintahan Indonesia memberi gelar pahlawan kepada Laksamana Malahayati mendapat pada 10 November 2017.
2) Opu Daeng Risadju
Sumber Gambar : ikpni (or.id) |
Lahir di Kota Palopo, Sulawesi Selatan pada tahun 1880. Nama kecilnya Opu Daeng Risadju adalah Fajammah. Merupakan anak dari pasangan Muhammad Abdullah To Baresseng dan Opu Daeng Mawellu. Yakni Keturunan bangsawan kedatuan Luwu yang sangat dihormati di Sulawesi Selatan.
Famajjah kecil tumbuh di lingkungan Islam yang kuat. Meskipun tidak menimba ilmu di sekolah formal, Beliau bisa menamatkan 30 juz dan mempelajari ilmu fiqih. Ketika tumbuh dewasa, Famajjah menikah dengan seorang ulama yang pernah tinggal di Mekkah, Arab Saudi, Haji Muhammad Daud. Sang suami kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu.
Namun Belanda semakin berkuasa di Luwu Raya yang membuat rakyat sengsara dan Opu Daeng Risadju serta suami terpaksa harus meninggalkan Kota Palopo dan pindah ke Parepare. Di usia senjanya, Opu Daeng Risadju memilih berjuang bersama rakyat. Melawan Belanda yang menduduki wilayah Luwu sejak tahun 1905. Dan sebagai bentuk perlawanan akhirnya beliau bergabung dengan cabang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Opu Daeng Risadju dinilai sebagai kekuatan politik yang membahayakan Belanda. Hal tersebut membuat dirinya dituduh melakukan tindakan provokasi rakyat untuk melawan pemerintah kolonial. Alhasil, gelar bangsawannya dicabut. Selain harus berhadapan dengan Belanda, Opu Daeng Risadju juga mendapatkan tekanan dari Datu Luwu dan Dewan Adat Luwu. Beliau diminta menghentikan kegiatan politiknya dan keluar dari PSII.
Sempat penjara sebagai tahanan politik oleh Belanda, saat memasuki usia 60 tahun Opu Daeng Risadju dipaksa berjalan kaki sepanjang 40 km untuk kembali ke Watampone. Pada suatu masa, Beliau bahkan dihukum untuk lari mengelilingi lapangan luaas sambil meledakkan senapan tepat dekat telinganya. Hal tersebut membuat gendang telinga Opu Daeng Risadju pecah dan menjadi tuli seumur hidup.
Pada 10 Februari 1964, Opu Daeng Risadjuia menghembuskan napas terakhirnya dan dimakamkan di kompleks makam raja-raja Lakkoe di Palopo. Kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan pada tanggal 3 November 2006. Namanya kini diabadikan di salah satu jalan di Kota Palopo, Sulawesi Selatan.
3) Cut Nyak Dhien
Sumber Gambar : hot.grid (id) |
Salah satu pahlawan nasional wanita di Indonesia yang lahir 01 Januari 1848 di Lampadang, Aceh. Beliau merupakan keturunan Sultan Aceh, yakni Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim.
Pada usia 12 tahun Cut Nyak Dhien dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII dan mereka memiliki satu anak laki-laki. Perjuangan Cut Nyak Dhien bermula dari kematian suaminya saat melawan Belanda di tahun 1878.
Cut Nyak Dhien marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda serta melanjutkan perjuangan suaminya untuk memimpin perang. Kemudian beliau menikah lagi dengan Teuku Umar salah satu pejuang Aceh dan membangun kembali kekuatan serta semangat perjuangan Aceh melawan Belanda di sejumlah tempat hingga pasangan ini cukup disegani oleh pihak Belanda.
Namun Teuku Umar juga gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Cut Nyak Dhien melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Terus berusaha menangkap Cut Nyak Dhien, namun Belanda tidak juga berhasil.
Tetapi Lama kelamaan jumlah pasukan Cut Nyak Dhien kian berkurang, penglihatannya pun semakin rabun dan penyakit encok mulai menyerang. Cut Nyak Dhien akhirnya tertangkap lalu diasingkan ke ke Sumedang, Jawa Barat.
Cut Nyak Dhien diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964. Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya, nama Cut Nyak Dhien diabadikan sebagai nama jalan yang terletak di kawasan Menteng - Jakarta.
4) RA Kartini
Sumber Gambar : news.detik (com) |
Nama RA Kartini pasti begitu akrab dikenal masyarakat Indonesia. Termahsyur atas perjuangannya sebagai pahlawan emansipasi wanita yang bahkan hari kelahirannya, yakni 21 April diperingati sebagai Hari Kartini.
Wanita dari Jepara ini memiliki gelar Raden Ajeng dalam namanya menunjukan bahwa beliau merupakan keturunan bangsawan. Kartini merupakan putri R.M. Sosroningrat yang menjabat sebagai bupati Jepara kala itu dan Ibunya bernama M.A. Ngasirah, anak dari seorang kiai di Telukawur, Kota Jepara.
Karena mengalir darah bangsawan inilah Kartini mendapat previlage untuk mengenyam pendidikan sampai usia 12 tahun di ELS (Europese Lagere School). Namun selepas itu, Kartini harus tinggal di rumah karena sudah dipingit.
Selama masa pingitan itu, Kartini berkirim surat dengan teman-temannya di Eropa dan mengutarakan harapannya untuk dapat memajukan perempuan Indonesia sebagaimana perempuan Eropa.
Sepeninggal Kartini, surat-surat tersebut dikumpulkan oleh temannya dan diterbitkan menjadi sebuah buku 'Door Duisternis tot Licht' yang diterbitkan di Belanda atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia 'Habis Gelap Terbitlah Terang'.
RA Kartini wafat pada 17 september 1904 dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 02 Mei 1964 berdasarkan SK Presiden No 108 tahun 1964 yang ditandatangani Presiden Soekarno.
5) Raden Dewi Sartika
Sumber Gambar : TribunNewswiki (com) |
Lahir di Bandung, 04 Desember 1884 dari pasangan Raden Somanegara dan Raden Ayu Permas. Wanita bernama Raden Dewi Sartika ini merupakan salah satu tokoh perintis pendidikan bagi kaum wanita.
Raden Dewi Sartika menjalani sekolah di Eerste Klasse School hanya sampai umur sembilan tahun, sehingga membuat beliau tidak selesai Sekolah Dasar. Namun, bisa berhasil menjadi pendidik dan pengelola sekolah yang kompeten. Bahkan Beliau dianggap sebagai seorang wanita yang paham akan isu ekonomi politik di masa kolonial kala itu.
Perjuangannya dimulai sejak usia 18 tahun dengan mengajarkan membaca, menulis, memasak dan menjahit bagi perempuan-perempuan di kotanya. Menurut Raden Dewi Sartika, perempuan perlu mendapatkan pelatihan keterampilan agar bisa berkarya bebas menjadi dirinya sendiri. Inilah dasar mengapa akhirnya Beliau mendirikan sekolah bagi kaum perempuan.
Pada 16 Juli 1904, Raden Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri atau Sakola Perempuan. lalu pada tahun 1904 namanya diubah menjadi Sakola Keutamaan Istri dan berganti lagi di tahun 1929 menjadi Sakola Raden Dewi.
Sekolah Raden Dewi menyebar dari Pasundan hingga ke luar pulau Jawa. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, beliau mencari sumbangan dana dan berhasil mendapat dukungan dari banyak pihak, terutama suaminya yakni Raden Kanduruan Agah Suriawinata.
Tanggal 16 Januari 1939, pemerintah Hindia Belanda memberikan bintang jasa kepada Raden Dewi Sartika atas jasanya telah memajukan pendidikan kaum perempuan. Setelah kepergiannya, Pemerintah Indonesia menganugerahi gelar pahlawan kepada Raden Dewi Sartika pada1 Desember 1966. Kini, namanya dijadikan sebagai nama jalan di berbagai kota Indonesia.
Meskipun terlahir dari keturunan bangsawan tapi pahlawan nasional wanita ini berjuang demi bangsa, negara dan rakyat Indonesia. Di moment kemerdekaan ini, Kita pasti menyambutnya dengan suka cita tapi ada baiknya juga memaknai kemerdekaan dengan meneladani perjuangan para pahlawan yang gigih demi membangun negeri dan membebaskan dari belenggu penjajah. Kita bisa menjadi versi terbaik masing-masing untuk memberikan kontribusi positif. Setiap orang adalah pahlawan yang rela serta ikhlas untuk berbuat kebaikan bagi banyak orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar